Dynamic Blinkie Text Generator at TextSpace.net
Ogenki desu ka ?

Ni Hao!


Hi! Ogenki desu ka? Ismi Della. Douzo yoroshiku onegaishimasu!

This is my blog. Absolutely, you know that! Sesuai judulnya, blog ini hanya sebagian dari keisengan saya dalam memanfaatkan waktu senggang. Silahkan jelajahi, atau klik tanda "X" di pojok kanan atas, terserah Anda!
Hope you like this! And if you don't, just leave this page, then don't give me a flame!

Fine, no more talking! Just enjoy yourself!

Naruto,Naruto vs Sasuke,Sasuke,Gif

Essai "CACAT!"

“Ing ngarso sung tulodo. Ing madya mangun karso. Tut wuri handayani”. Masih ingatkah Anda pada slogan itu? Ah, mungkin sebagian besar sudah lupa, atau bahkan memang tidak tahu sama sekali. Acungkan tangan tinggi-tinggi bagi Anda yang mengetahuinya!

Bingo! Itu adalah slogan pendidikan kita. Disediakan reward bagi yang mengetahui makna slogan tersebut. Oke, hanya bercanda! Saya tidak memiliki cukup biaya untuk menghadiahkan ratusan reward bagi Anda semua, karena saya yakin Anda tahu makna slogan terkenal itu. Benar begitu, bukan?

Baiklah, biar saya perjelas kembali! “Ing ngarso sung tulodo. Ing madya mangun karso. Tut wuri handayani” bermakna “di depan memberi teladan, di tengah ikut serta membangun masyarakat, di belakang memberi dorongan dan dukungan”. Meski sederhana, rangkaian kata-kata itu mampu menerbitkan makna yang luar biasa. Apakah Anda berpikir seperti itu?

Slogan pendidikan kita, seperti kata anak-anak muda zaman sekarang, memang T-O-P banget. Ki Hajar Dewantara beserta gelarnya sebagai “Pahlawan Pendidikan” mampu menggubah suatu bentuk slogan yang hebat. Tetapi, apakah benar kondisi pendidikan di negeri berslogan dahsyat itu sesuai dengan apa yang disebutkan dalam slogannya?

Mungkin sebagian besar orang akan tertawa atau meratap miris mendengar slogan itu sambil membayangkan kenyataan yang memang benar-benar terjadi saat ini. ”Slogan apa itu? Dengar saja tidak pernah!”, “Cih, sama sekali berlawanan!”, “Ooh, itu slogan ya? Aku kira peribahasa!”, dan berbagai komentar lainnya yang sama sekali tidak diharapkan. Bolehkah saya bertanya sesuatu? “Apa Anda termasuk dari orang-orang yang berkomentar seperti itu?”

Inilah saatnya kita melirik diri dan renungi. Apakah slogan itu memang benar adanya, ataukah hanya sebuah bualan yang kita bangga-banggakan pada bangsa lain? Terlalu tebalkah kulit muka kita jika memang benar seperti itu? Mari tengok peristiwa-peristiwa beberapa ratus tahun yang lalu. Pikirkanlah sejenak ketika Raden Ajeng Kartini dengan segenap harga dirinya memperjuangkan keberadaan kaum wanita di dunia pendidikan yang pada saat itu bahkan dianggap racun dan pantang dicicipi oleh para perempuan pribumi. Atau ketika perjuangan pemuda Indonesia dalam mendirikan banyak perkumpulan pendidikan seperti Budi Utomo, Tri Koro Dharmo, Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia, Pemuda Kaum Betawi, Jong Sumatranen Bond, Jong Batak, Jong Minahasa, Jong Islamieten Bond, Gerakan Pemuda Anshor, Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia, Perhimpunan Indonesia, dan banyak lagi yang lainnya. Apakah perjuangan-perjuangan penuh pengorbanan itu hanya termanifestasikan dengan keadaan pendidikan sekarang ini yang…miris?

Pada hakikatnya, pendidikan memiliki dua aspek penting, yaitu kognitif yang berarti berpikir, dan afektif yang berarti merasa. Namun apakah pendidikan di Indonesia ini benar-benar mengandung dua aspek penting itu?

Pendidikan di Indonesia ini, ternyata sangat tidak memperhatikan aspek afektif. Anda tahu kenapa? Karena kita hanya tercetak sebagai generasi-generasi yang pintar namun tidak memiliki karakter-karakter yang dibutuhkan bangsa ini. Jika dahulu para pejuang kita dicap “bodoh” tapi memiliki semangat nasionalisme yang mengalahkan tingginya puncak Himalaya, maka keadaan yang menimpa kita kini adalah sebaliknya. Guru dan bahkan orangtua manapun pasti akan berdecak bangga jika murid dan anak mereka mendapat nilai A dalam Bahasa Inggris, Matematika, atau Kimia. Tapi pernahkah Anda mendapati orangtua yang memarahi anak mereka hingga berjam-jam hanya karena nilai C dalam mata pelajaran PKn? Maka jawabannya adalah jarang.

Ah, berbicara mengenai nasionalisme! 14 Agustus 1961 adalah salah satu peristiwa dari puluhan peristiwa yang amat penting bagi kemajuan dunia pendidikan di Indonesia. Anda tahu itu hari apa? Applause bagi Anda yang mengetahuinya! Itu adalah Hari Pramuka. Lalu tahukah Anda mengenai kewajiban yang seharusnya kita laksanakan pada setiap tanggal 14, khususnya tanggal 14 Agustus? Memakai pakaian pramuka, itulah jawabannya! Bahkan dahulu berlaku sebuah peraturan di mana semua pengajar di nusantara diwajibkan untuk mengenakan pakaian pramuka dengan sanksi yang berat bagi para pelanggarnya. Lalu ke manakah tenggelamnya peraturan itu? Bukan saya bermaksud untuk mempromosikan pramuka dalam kesempatan ini, namun tengoklah barang sebentar saja potret rusaknya nasionalisme bangsa Indonesia kini! Bahkan pernah suatu ketika, saat saya mengenakan pakaian pramuka tanggal 14 lalu, hampir semua siswa di sekolah memandangi saya dengan tatapan heran dan sebagian besar tidak dapat diidentifikasikan, apakah itu tatapan meremehkan, atau menghina. “Kalau harus memakai baju pramuka setiap tanggal 14, suruh anggota Pramuka saja yang memakainya!”, kata seorang siswi sehingga saya harus memelototinya untuk membuat ia bungkam. Bahkan ada seorang pengajar yang menanyakan alasan saya mengenakan pakaian pramuka, entahlah kenapa, tapi saya yakin kalau beliau memiliki kalender!

Betapa merosotnya semangat nasionalisme dan patriotisme dalam diri bangsa kini. Tanamkan nasionalisme pada anak sejak dini, bahkan sejak mereka masih dalam gendongan orangtua. Itulah kunci dari persoalan ini. Angkat tangan kanan Anda dan berjanjilah untuk melakukan itu jika kelak Anda telah menjadi orangtua! Bukankah mereka yang kelak akan menerima warisan negeri ini?

Masalah pendidikan di Indonesia yang selanjutnya yaitu kemiskinan. Kata ini rasanya menjadi kata yang wajib dicantumkan dalam tragedi keterpurukan Indonesia, baik itu dalam urusan ekonomi, terutama pendidikan. “Enak ya rasanya kalau kita pake baju yang samaan dengan teman, pagi-pagi dibangunin sama ibu, dibuatkan sarapan, lalu kita dipakaikan sepatu yang bagus, ingin sekali rasanya menggendong tas di punggung, dan berangkat bareng-bareng teman ke sekolah”. Apa yang Anda rasakan ketika mendengar ucapan itu? Ucapan yang terlontar begitu saja dari mulut anak-anak miskin yang kebetulan dianugerahi nasib yang tak seberuntung yang Anda miliki. Beruntunglah bagi anak-anak yang kehidupannya serba berkecukupan sehingga bisa sedikit saja mencicipi pahit-manisnya menjadi pemain dalam film berjudul “ Kehidupan Sekolah”. Lalu bagaimana dengan nasib anak-anak miskin itu?

Mungkin akan sedikit berbeda alur kondisinya jika para pemerintah bisa lebih tegas membasmi persoalan kemiskinan yang ruwet ini. Diadakannya Bantuan Operasional Sekolah (BOS) memang sedikitnya dapat menjadi jalan pintas. Tapi tak jarang sekali para “tikus” pemerintah memanfaatkan “kesempatan dalam kesempitan” untuk kepentingan mereka sendiri. Yah, orang yang sibuk mengumpulkan keuntungan untuk hidupnya sendiri takkan mampu menangani, bahkan menyentuh masalah orang lain. Tak peduli apapun yang dikatakan orang-orang, apakah itu “Ya terserah anaknya lah, kalau anaknya gak mau sekolah, pemerintah juga gak bisa ngapa-ngapain”, “Pendidikan di Indonesia? Nggak tau ah, no comment!”, atau “Pendidikan di Indonesia, ya? Mm, emang kayak gimana gitu?”, atau berbagai komentar lainnya, bagaimanapun juga pemerintah menggenggam peranan yang amat penting dalam menentukan kecemerlangan dan keterpurukan bangsa. Silahkan acungkan tangan bagi Anda yang setuju dengan pendapat saya! Untuk Anda yang telah mencanangkan diri menjadi bagian dari pemerintahan suatu saat nanti, saya minta jadilah pemerintah yang jujur, kreatif, tegas, dan dapat diandalkan!

Masalah selanjutnya yaitu kemalasan yang kronis. Masalah ini tentu menjadi induk dari semua masalah pendidikan yang ada. Sifat pemalas yang bahkan ada dalam diri saya yang menulis tulisan ini, memang menjadi penyakit dan hama yang mematikan bagi seluruh orang, khususnya generasi muda. Generasi muda sekarang ini sebagian besar lebih mendewa-dewakan kesenangan dunia, meski tak sedikit pula yang mengistimewakan pendidikan. Ajaklah anak-anak muda kini mengikuti les selama satu jam, dan ajak pula mereka pergi ke sebuah mall selama dua jam. Tengok ekspresi mereka! Maka dengan wajah berseri-seri mereka akan mau dengan repotnya berjalan-jalan di mall daripada hanya duduk memperhatikan ucapan-ucapan guru atau rumus-rumus rumit di papan tulis. Bukankah ada pepatah dari Albert Einstein : “Agama tanpa ilmu adalah buta. Ilmu tanpa agama adalah lumpuh”? Agama merupakan bagian dari ilmu, dan ilmu merupakan bagian dari agama, bukan begitu? Anak-anak muda yang hidup tanpa disertai ilmu, akan dengan mudah menjauh dengan sendirinya dari agama. Hal ini jika dibiarkan terus menerus akan menerbitkan sifat hedonis dan bahkan mendekatkan kita sebagai pemuda pemikul beban bangsa pada sekularisme. Bukankah itu akan sangat berbahaya? Oleh karena itu, mari sama-sama (beserta saya pula) menghilangkan sifat malas dan gunakan kesempatan hidup untuk mencangkul tanah ilmu pengetahuan serta ilmu agama.

Bila pendidikan bangsa ini rendah, generasi yang dihasilkan pun tentu akan rendah pula. Bangsa ini membutuhkan generasi yang selain memiliki kecerdasan intelektual, juga memiliki karakter yang dapat membangkitkan kemajuan bangsa. Bangsa ini tidak membutuhkan generasi yang hanya bisa berdiam diri menunggu perubahan dengan mottonya “biarkan waktu yang menjawab semua” tanpa berusaha mewujudkan perubahan itu dengan tangan dan keringatnya. Oleh karena itu, ini adalah tugas kita untuk mengubah nasib bangsa yang sudah terperosok jauh ini. Para pendahulu kita telah mewariskan beban masa depan bangsa ini, maka mau tak mau kita harus melaksanakan tugas tersebut. Bangkitkan pendidikan dengan belajar dan berusaha keras. Agar kelak, kita akan dibutuhkan oleh bangsa ini, bahkan oleh dunia.





by : Della Annissa Permatasari
Cianjur, 17 Oktober 2011

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar

Angry Birds