Dynamic Blinkie Text Generator at TextSpace.net
Ogenki desu ka ?

Ni Hao!


Hi! Ogenki desu ka? Ismi Della. Douzo yoroshiku onegaishimasu!

This is my blog. Absolutely, you know that! Sesuai judulnya, blog ini hanya sebagian dari keisengan saya dalam memanfaatkan waktu senggang. Silahkan jelajahi, atau klik tanda "X" di pojok kanan atas, terserah Anda!
Hope you like this! And if you don't, just leave this page, then don't give me a flame!

Fine, no more talking! Just enjoy yourself!

Naruto,Naruto vs Sasuke,Sasuke,Gif

HUJAN

Sayangku, hujan banyak turun di bulan ini. Jatuh butir demi butir dan menghantam tanah bumi dengan lembut. Aku suka memandang hujan. Seperti kali ini, saat-saat kusaksikan air bening itu meluruh dari langit.

Sayang, hujan itu indah. Bagiku hujan tak pernah kehilangan keromantisannya meskipun ia bisa mengakibatkan banjir, meskipun ia penyebab tsunami. Melihat guratannya yang putih bening, yang jatuh berhamburan dari langit, aku selalu ingat binar bola matamu. Mata yang tajam namun tak pernah kehilangan pesonanya. Hingga aku selalu terhipnotis dan terperosok ke dalam dimensi yang indah ketika aku menatap mata itu.

Sayang, hujan itu melodi. Ia begitu indah ketika jatuh menderas dan menerpa bumi. Aku suka suara gemericik hujan. Indah. Seperti suaramu yang mengalun cantik di telingaku, menciptakan simfoni yang paling mendamaikan. Suara saat kau membisikkan kata-kata cinta, dan ketenangan kala aku merasa resah.

Sayang, aku cinta hujan. Hujan mengingatkanku ketika kita berlari menerobosnya dan kau genggam tanganku. Hujan memutar seluruh video kenangan saat kita bersama. Harmoni yang takkan pernah digantikan dengan seluruh alam semesta sekalipun.

Aku suka hujan, Sayangku. Karena ketika aku menatap langit yang menumpahkannya, aku melihat siluet wajah dan senyummu di atas sana. Senyum yang selalu menjadi menu utama dalam proses kerja otakku. Senyum yang senantiasa aku rindukan. Seperti sekarang, saat-saat kurindukan senyummu yang meneduhkan itu.

Sayang, hujan itu hangat. Karena ketika aku kedinginan akibatnya, kau akan menghangatkanku dengan rengkuhmu, dengan cinta dan kasih sayangmu. Dan aku akan jatuh tertidur di atas pangkuanmu, dengan belaian-belaian berlumurkan sayangmu di atas kepalaku.

Hujan itu memesona, Sayangku. Karena manakala hujan turun, aku rasakan wangi tanah yang meruap dari kedalaman. Memberikan rasa damai, memberikan segenggam harapan yang sempat porak poranda. Seperti aroma tubuhmu, yang akan selalu menenangkanku kala kucium.

Sayang, hujan itu baik. Dia selalu menjadi kawan berbagi keluh kesahku saat kau tak lagi di sisiku. Meski tak kulisankan, namun ia akan paham dengan segenap hal yang aku rasakan. Hujan akan menderas kala kesedihan merambas, hujan akan meneduh kala keterpurukan merubuh. Dan tatkala hujan berhenti, kulihat pelangi dengan tujuh warnanya yang memikat menghiasi langit terbuka.

Dan aku cinta hujan, Sayangku. Cinta yang begitu besar. Seperti cintaku untukmu yang tak akan pernah melonggar meski waktu telah merenggut usiaku, meski bumi telah merenggut tubuhku.

Cintaku, dengar, jika hujan itu adalah seorang manusia, aku akan berterima kasih padanya. Karena ia yang menemaniku saat aku menangis sebab merindukanmu, karena ia yang menghiburku saat aku terjatuh sebab kau pergi dari sisiku. Aku cinta hujan, Sayang, seperti aku mencintai hatimu.

Sudah lama, aku menyulam khayalan pada tirai hujan
menata wajahmu di sana serupa puzzle,
sekeping demi sekeping, dengan perekat kenangan di tiap sisinya
lalu saat semuanya menjelma sempurna
kubingkai lukisan parasmu itu dalam setiap leleh rindu
yang kupelihara di sudut hati dengan rasa masygul
dari musim ke musim

“Cinta selalu memendam rahasia dan misterinya sendiri,
pada langit, pada hujan,” katamu lirih terbata-bata.
Dan seketika, linangan air matamu menjelma
bagai deras aliran sungai yang menghanyutkanku jauh ke hulu
di mana setiap harapan kita karam di sana

Sudah lama, aku memindai sosokmu pada derai gerimis
memastikan setiap serpih mimpiku untuk bersama
membangun surga di telapak kakimu dapat menjadi nyata
tapi selalu, semuanya segera berlalu
dan sirna bersama desir angin di beranda

“Percayalah, aku ada di nadimu seperti kamu ada di darahku,” bisikmu pelan ketika bayangmu, perlahan memudar di balik rinai hujan..

(Amril Taufik Gobel : “Hujan Membawa Bayangmu Pergi”)







by : Della Annissa Permatasari
Cianjur, 23 Maret 2012

Read More...

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Gadis Musim Semi

Gadis itu masih di sana. Duduk di atas meja dengan sorot yang tenang menghadap ‘lukisan Tuhan’ yang menghampar biru di atas. Tak ada yang spesial, memang. Hanya duduk diam sambil menatap langit yang setiap hari sama, mungkin akan terasa membosankan bagimu. Namun tidak bagi gadis itu. Menatap langit itu sama dengan menghirup teh hangat di depan perapian saat musim dingin tiba, atau tidur di atas pangkuan Ibu dengan belaian-belaian lembut yang mendamaikan. Begitu menyenangkan. Begitu menenangkan. Oh, lihatlah! Bahkan kegaduhan di ruangan kelas tempatnya berdiam diri itu pun tak sanggup mengusik kenyamanannya.

Manik hitam kelam milik gadis itu pun beralih ke bawah, ke halaman sekolah yang memang terletak di lantai dasar, berbeda dengan kelasnya yang ditempatkan di lantai dua. Dan dengan tak sengaja ia menemukannya! Kedua bola matanya memang sepertinya diciptakan untuk sensitif terhadap sesuatu yang menyangkut tentangnya.

Ia melihat dia. Dia, yang tegak dengan gagahnya, seolah badai sekalipun tak sanggup untuk merobohkannya. Dia, yang tetap memesona dengan wajah malaikatnya, membuat si gadis tak sanggup memalingkan pandangan darinya barang sebentar saja. Dia, dengan kedua bola mata hitam yang menatap bagai pandangan sang elang. Dan itu dia, yang tersenyum indah dalam segenap kesempurnaannya.

Si gadis penggemar langit hanya menghela nafas perih, menatap pemandangan di bawahnya. Senyuman itu bukan untuknya. Dan tak akan pernah untuknya.

Dia hanya tersenyum saat mengawasi laki-laki itu tertawa di tengah candaannya dengan seorang gadis di sisinya. Senyuman yang sarat akan luka. Dia bahkan tak pernah tertawa sebahagia itu saat sedang bersamaku.

“Gia, aku menyukai Ruby.”


Ah! Memori itu tiba-tiba saja berkelebat di otaknya, seperti semacam video yang terputar berulang-ulang, menyakitkan kepalanya. Ia masih ingat bagaimana ekspresi laki-laki itu saat mengatakan “aku menyukai Ruby”. Masih terekam jelas di telinganya bagaimana nada bicara sahabatnya itu ketika mengutarakan perasaannya yang sesungguhnya. Begitu meneduhkan. Begitu bahagia. Seolah tak peduli meski kiamat akan tiba dalam beberapa menit ke depan. Gia paham bahwa sahabatnya itu tengah terbuai dalam atmosfir asmara. Gia sangat mengerti mengapa laki-laki itu bisa sebegitu bahagianya hanya karena seseorang istimewa yang tiba-tiba hadir di hidupnya. Gia tahu, ini yang dinamakan jatuh cinta. Sebab, Gia pun tengah mengalami hal demikian.

“Aku juga menyukaimu...”

xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx

“Aku belum berani mengajaknya jalan-jalan, Gia. Jangan memaksaku seperti itu!”

“Hey, siapa yang memaksamu? Aku hanya menyarankan agar kalian bisa lebih dekat, itu saja,” melipat lengan di dada, Gia memasang wajah kesal andalannya, “Ya sudah kalau kau tidak mau. Aku takkan membantumu lagi.”

“Memangnya kalau jalan-jalan, hubungan kami akan lebih dekat seperti yang kau katakan?”

Gia melirik laki-laki di sampingnya dengan tatapan yang dibuat tajam, lalu mendengus sebal, “Jadi kau meragukan ucapan sahabatmu, Azkar?”

Azkar hanya meringis dan menepuk-nepuk pelan kepala Gia yang tengah melahap kue terakhir di piringnya, “Bukan begitu, aku hanya...”

TING

“Ah, kuenya sudah matang! Akan kuambilkan,” dengan begitu, menghilanglah Azkar yang beranjak pergi dari pandangan Gia.

Setelah memastikan Azkar telah lenyap ditelan bumi –ditelan ruangan maksudku-, Gia menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri mirip orang hendak maling jemuran, lalu diam-diam mengambil ponsel milik Azkar yang tergeletak di atas karpet.

“Kalau jadi pengecut begitu, mana bisa dapat cewek!” desisnya sambil mengotak-atik ponsel tak berdosa itu. Jemarinya bergerak cepat, mencari sebuah nama di contact person yang ia yakini pasti sudah disimpan Azkar. Gotcha! Tak perlu usaha hingga titik darah penghabisan untuk menemukannya.

Ruby.

Jemari lentik itu pun terhenti sejenak. Gia menghela nafas berat. Sudah saatnya ada yang dikorbankan dari dirinya. Sudah waktunya menggali hatinya sendiri untuk mengubur perasaan itu. Cukup dengan kebahagian Azkar. Cukup dengan melihat wajah tampan itu tersenyum. Gia cukup menjadi bayang-bayang Azkar yang akan selalu ada di belakangnya saat seluruh dunia berpaling dari lelaki itu. Jika Azkar dapat menggenggam kebahagiaannya, maka itu cukup.

To : Ruby
Hey, apa aku mengganggumu? Aku lapar, bisakah siang ini kita pergi untuk makan? :)


Gia segera menekan tombol ‘send’ di ponsel itu. Lalu menatap layar ponsel dengan potret seorang gadis yang sedang tersenyum manis sebagai wallpapernya. Gadis yang tentu saja, demi apapun di dunia ini, bukan dirinya. Bisa kau tebak siapa itu? Mintalah hadiah lima es krim Magnum pada Gia bagi yang mampu menjawabnya!

Ponsel itu tiba-tiba bergetar menandakan ada pesan masuk, dalam waktu yang teramat singkat. Saking singkatnya bahkan Gia pun tak sempat untuk berkedip. Gia menekan tombol ‘read’, dan membaca apa yang tertulis di dalamnya.

From : Ruby
Aku sama sekali tidak merasa terganggu, Tuan. Santai saja. Ah, ide bagus! Kutunggu kau di Cafe Mixture pukul 2 nanti. Bagaimana?


Gia dengan tergesa-gesa meletakkan kembali ponsel milik Azkar itu ke tempat semula, setelah sebelumnya memberi balasan “Baiklah” pada Ruby. Bersamaan dengan menempelnya bokong Gia di atas karpet, Azkar muncul dari balik dinding pemisah ruangan dengan sepiring besar kue yang masih tampak berasap di tangannya.

“Hati-hati, Bodoh! Kuenya masih panas,” sahut Azkar ketika Gia berteriak ‘panaaas!’ saat gadis itu dengan sembrononya mencomot kue yang jelas-jelas masih dikelilingi asap itu dari piring. Gia hanya mengerucutkan bibirnya sambil memandangi dan sesekali meniupi jari tangannya yang memerah.

“Ehem,” Azkar mengerutkan alisnya mendengar Gia berdehem tidak jelas, “Mm, pukul 2 siang nanti datanglah ke Cafe Mixture,” ucapnya sambil memakan kue dengan hati-hati, takut kejadian tadi terulang kembali.

Alis Azkar semakin berkerut mendengar penuturan Gia, “Untuk apa?” tanyanya, lalu detik kemudian, senyuman nakal bertengger di wajahnya, “Kau mau mengajakku kencan, ya?”

Dan satu buku Fisika setebal 1,5 sentimeter pun melayang dan mendarat dengan tidak elitnya di wajah Azkar.

“Aduuh! Kau tidak perlu memukulku, kan?” gumam Azkar sambil mengusap-usap wajah semulus aspalnya –ups!

Azkar semakin gemas kala orang yang bersangkutan hanya melahap kuenya dengan tenang, seolah-olah ia baru saja diturunkan dalam wujud seorang bayi yang tak ternodai oleh dosa. Pemuda itu mendengus keras-keras dan akhirnya malah memposisikan dirinya di samping Gia, kemudian mengambil sekeping kue, “Lalu,” katanya sambil menatap Gia penuh selidik, “...untuk apa aku harus ke Cafe Mixture?”

Alih-alih menjawab, Gia hanya menatap wajah Azkar dengan ekspresi yang sulit diidentifikasi. Azkar menjadi bingung dibuatnya. Namun ketika mengawasi Gia yang mengedipkan sebelah matanya dan tersenyum penuh arti, Azkar melotot selebar-lebarnya dan tanpa sadar menjatuhkan kue di tangannya, “KAU!!”

xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx

21.00. Seharusnya seperti malam-malam sebelumnya, ketika jarum jam menunjuk ke angka itu, Gia telah hijrah ke dimensi mimpi dan menjelajah di dalamnya. Namun tidak untuk malam ini.

Waktu diam di kamar ternyata hanya dihabiskan dengan berguling-guling di atas tempat tidur. Bukan berguling-guling dalam rangka latihan senam lantai untuk ujian sekolah, tentu saja. Matanya malam ini entah mengapa begitu sulit diajak kompromi dengan otaknya. Padahal Gia yakin bahwa kotoran kue yang menempel di wajahnya tadi adalah akibat ia jatuh tertidur di atas piring saat makan malam berlangsung.

“Haaahh..” Gia berteriak tertahan karena frustasi sambil meregangkan tubuhnya, “Bosaaan!!”

Dengan posisi tubuh yang masih terbaring, Gia meraih ponselnya yang terbujur kaku di atas meja di samping tempat tidurnya. Kemudian mengetikkan sesuatu.

To : Azkar – Cowok – Sok – Keren
Zee, kau sedang apa? Aku bosan, temani aku ngobrol malam ini ya :)


Gia termenung seketika, sebelum jarinya sempat menekan tombol ‘send’. Huh, pasti dia sedang bersenang-senang malam ini, pikirnya. Dan ponsel itu pun pada akhirnya kembali ditelantarkan di atas meja.

Gia kembali teringat dengan nama panggilan yang diberikannya pada Azkar. Zee. Gia sendiri tak mengerti bagaimana bisa nama panggilan yang jelas-jelas tak memiliki kemiripan sama sekali dengan nama asli Azkar itu berkelebat di otaknya. Si pemilik nama yang merasa adanya ketidakberesan dalam nama panggilannya itu pun terbengong-bengong ketika Gia secara perdana menyerukan panggilan ‘Zee’ untuk dirinya. Dan saat Azkar bertanya perihal itu, Gia hanya menggaruk kepalanya sambil nyengir dan berkata, “Haha, entahlah. Mungkin karena ada huruf ‘Z’ di namamu,” membuat alis Azkar berkerut heran, namun akhirnya lelaki itu hanya manggut-manggut memaklumi otak slebor milik sahabatnya.

Azkar boleh saja tak ambil pusing masalah penamaan secara sepihak dan seenaknya oleh Gia itu. Tetapi siapa yang tahu bahwa Gia ternyata menyimpan maksud tertentu di balik nama ‘Zee’ yang diciptakannya? Tentu saja hanya Gia, Tuhan, dan penulislah yang mengetahuinya.

Gia hanya ingin menyerasikan nama Azkar dengan nama panggilan yang dibuat pemuda itu untuk dirinya. Gee. Yah, meskipun nama ciptaan Azkar itu tentu saja memiliki kemiripan dengan nama asli si gadis, berbeda sekali dengan nama yang Gia ciptakan dengan disertai pemikiran yang hanya sebatas 25%. Gee dan Zee. Bila dengan orangnya tak bisa, Gia ingin namanya saja yang bersanding dengan nama lelaki itu. Boleh begitu, bukan? Terdengar melankolis, memang. Namun itu hanya permintaan yang sederhana dari Gia. Tak muluk-muluk.

Luruh sudah kesabarannya. Jarum jam sudah berpindah tempat sejak tadi ke angka 21.30. Namun tubuhnya masih belum menunjukkan tanda-tanda akan kantuk yang biasanya selalu muncul bahkan tanpa harus ia undang. Gia segera bangkit dari tempat tidurnya, menghampiri laptop Apple-nya di atas meja belajar. Setelah menyalakan dan mengaktifkan wi-finya, Gia iseng-iseng membuka akun Facebook miliknya. Siapa tahu ada teman yang bisa kuajak mengobrol, pikirnya. Dan benar saja! Baru beberapa detik Gia membuka akunnya, muncul pesan di kotak obrolannya. Gia mengerenyitkan dahi begitu melihat pengirimnya.

Azkar Aufa Ananta
Hey, Gadis Barbar! Terima kasih untuk bantuanmu, ya. Kau benar, kami jadi dekat setelah jalan-jalan tadi. :)

Gia tersenyum membaca pesan itu. Lalu mengetikkan sesuatu.

Gia Valerina Cassandra
Ya, ya, Azkarung Beras. Kau berutang dua es krim Magnum padaku. :p

Azkar Aufa Ananta
Hanya dua? Aku bahkan akan membelikanmu tiga es krim Magnum.

Gia Valerina Cassandra
Oh, really? Bukankah satu bulan uang sakumu terhitung satu minggu uang sakuku? :p

Azkar Aufa Ananta
Jangan meremehkanku, Nona! Aku takkan menarik kata-kataku. Itulah jalan hidupku. :p

Gia Valerina Cassandra
Hah, seperti Naruto saja. :p :p :p

Azkar Aufa Ananta
Huh, biar saja. :p :p :p :p :p

Gia Valerina Cassandra
Hey, Zee. Temani aku ngobrol malam ini yaa. :) :) :)

Gia termangu menatap layar laptopnya, menunggu balasan dari Azkar. Namun hingga menit-menit selanjutnya, kata “Ya” atau bahkan kata-kata mengejek yang ditunggunya dari Azkar tak kunjung mampir di kotak obrolannya. Gia lalu kembali mengetikkan sesuatu.

Gia Valerina Cassandra
Hey, kau sudah tidur ya? Dasar kebo! Selamat tidur, Kebo. :p

Untuk yang kesekian kalinya, Gia terdiam. Lalu tiba-tiba bibirnya menyunggingkan sebuah senyuman lembut. Tangannya bergerak kembali di atas deretan keyboard pada laptopnya.

Aku mencintaimu.

Rangkaian kata itu hanya mampu ditatapnya dalam diam, tanpa ia mampu menekan tombol enter untuk mengirimkannya pada Azkar. Gia kembali menghapus sederet kata tak terkirim itu, sebelum ia kehilangan kendali dengan tanpa sadar mengirimkannya pada sahabatnya. Gia akhirnya memilih memainkan The Sims Social miliknya. Nampaknya berbulan-bulan sudah permainan itu tak tersentuh olehnya.

“Siaal!” umpat Gia karena ternyata matanya masih belum terserang kantuk meskipun satu jam manik hitam itu dipaksa menatap layar laptop. Dengan frustasi, Gia beralih ke beranda Facebooknya, setelah sebelumnya menutup aplikasi The Sims Social yang semenjak tadi ia mainkan. Lalu ada sesuatu yang mengiris-iris dadanya ketika tak sengaja ia menemukan sebuah status yang diupdate kurang lebih satu menit yang lalu.

Azkar Aufa Ananta
Gara-gara chattingan dengan Ruby, aku sampai lupa waktu. Terima kasih sudah menemaniku. Selamat tidur, Ruby. :)
Suka · Komentari · Bagikan · 1 menit yang lalu ·
Ruby Shafarani menyukai ini.

Gia tak mengerti sejak kapan pandangannya berubah menjadi buram. Atau sejak kapan badannya gemetar padahal cuaca di luar maupun di dalam kamar tak terasa dingin sama sekali. Yang ia tahu, ada bagian dari tubuhnya yang merasakan sakit di dalam sini. Terasa ngilu. Terasa perih, seperti nganga luka yang ditaburi garam. Jadi karena itu, dia tak membalas pesan dariku?

Padahal Gia telah mempersembahkan diri untuk dijadikan korban dalam kisah cinta ini. Padahal Gia telah memproklamirkan diri sebagai tokoh yang mundur demi membuat Azkar melangkah maju untuk gapai kebahagiaannya. Padahal Gia-lah yang secara tak langsung telah menghubungkan benang merah di antara mereka. Tapi kenapa dengan beban seringan ini pun, Gia telah rapuh dibuatnya? Bukankah kau telah berjanji, Gia, bahwa kau akan kuat demi dia? Demi Azkar yang menjadi mentarimu kala kau butuh cahaya. Demi Azkar yang menjadi nafasmu kala kau merasa sesak. Karena itulah...

.

.

.

Jangan menangis semenyakitkan itu.

xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx

“Tidak bisa ditolerir lagi!”

Gia sedikit terlonjak kaget mendengar gebrakan meja dan suara bariton yang menggaung milik lelaki tinggi besar di depannya. Amarah yang meletup-letup terlukis jelas di wajah kehitaman lelaki itu, membuat Gia diam-diam merasakan bulu kuduknya meremang.

“Ke mana perginya si Azkar itu? Apa dia tidak menyadari tanggung jawabnya sebagai Calon Ketua OSIS?” katanya dengan volume suara yang sedikit diturunkan.

Gia tertegun seketika. Dasar bodoh! Di saat seperti ini malah membuat ulah, batinnya. Gia tak perlu bingung memikirkan ke mana lenyapnya sahabatnya itu. Tak perlu repot-repot mengiriminya sms untuk menanyakan posisinya saat itu. Karena Gia telah mengetahui jawabannya sendiri: Azkar pergi dengan Ruby.

“Kita harus segera menindaknya, Ketua. Ini tidak bisa dibiarkan terus menerus. Sudah banyak pertemuan penting yang ia lewatkan. Seharusnya Azkar sadar dengan posisinya itu,” timpal salah seorang lelaki yang bertubuh lebih kecil.

Sekali lagi, Gia terkesiap. Menindak? Hey, itu bisa mengancam posisi Azkar sebagai Calon Ketua OSIS, Gia, sadarkah kau akan hal itu?

Lalu aku harus bagaimana?

Gia meremas rok sekolahnya dengan frustasi. Si Bodoh itu ternyata tak hanya membuat Gia harus mengorbankan perasaannya, namun juga reputasinya mesti ia pertaruhkan.

Ya, reputasinya sebagai Calon Ketua OSIS, sama seperti Azkar. Gia dan Azkar memang pasangan kandidat Calon Ketua OSIS yang digembar-gemborkan menjadi pasangan kuat yang tak lama lagi akan memperoleh gelar ‘Ketua Umum’ dan ‘Ketua I’ dalam OSIS. Hanya masalah waktu menentukan siapa yang berhak menduduki kedua posisi itu di antara Gia dan Azkar. Dan di sinilah, aura persaingan antara kedua sahabat itu pun menguar.

Kalau seperti ini, mana bisa disebut bersaing? Dasar Azkar bodoh! Bodoh! Bodoh! Bodoh!


Gia menghela nafas berat, sangat berat hingga jika kau mendengarnya, kau akan beranggapan gadis itu terserang asma. Dengan keberanian yang telah susah payah ia bendung, Gia mengacungkan tangannya, meski mati-matian ia bertahan untuk tidak gemetar.

“Ada apa, Gia?” tanya lelaki bertubuh besar yang menjabat sebagai Ketua Umum OSIS itu.

“Izin bicara,” ucap Gia dengan tenang, padahal degup jantungnya tengah mengalami percepatan gila-gilaan. Setelah melihat lelaki itu menganggukkan kepalanya, Gia berdiri dan melanjutkan, “Ini semua... kesalahan saya, Ketua.”

Lelaki itu mengerutkan alisnya, “Apa maksudmu?”

Gia menarik nafas dalam-dalam sekali lagi, seolah ia sudah tak memiliki cukup waktu untuk menghirup oksigen di dunia ini, “Saya yang sudah membuat Azkar tidak menghadiri pertemuan selama ini.”

“Jelaskan apa maumu, Nona!” nada bicara si Ketua Umum itu tiba-tiba saja naik beberapa oktaf.

“Saya yang mengancam Azkar untuk tidak menghadiri pertemuan. Karena... saya tak ingin dia merebut posisi Ketua Umum yang saya inginkan selama ini,” demi Tuhan! Itu kata-kata menjijikkan yang pernah terlontar dari bibir Gia seumur hidupnya. Gia memang menyukai persaingan. Namun persaingan konyol dan hina semacam yang tadi ia katakan, tak pernah ada dalam kamus hidupnya. Dan tak akan pernah ada, jika saja Azkar tak membuatnya berbuat demikian.

“Pikirkan apa yang kau katakan, Nona! Jangan sampai kau menyesal,” utar si Ketua Umum setelah beberapa detik yang lalu ekspresi terkejut sempat tergambar di wajahnya.

“Saya serius, Ketua. Bukankah Anda mengenal saya selama ini?” sahut Gia karena ia menangkap adanya ketidakpercayaan dari perkataan lelaki bertubuh besar itu.

Penuturan Gia membuat si Ketua Umum tercenung seketika. Anak itu selama ini selalu bersikap jujur dan apa adanya. Bahkan ia telah mencanangkan diam-diam bahwa Gia-lah yang akan menjadi ‘pewaris’ jabatannya kelak. Namun mendengar ucapan Gia, melihat kemantapan yang tersirat di wajahnya, seolah sanggup membakar ubun-ubunnya hingga hangus tak berbentuk.

“Tidakkah kau sadar, Gia, bahwa perbuatan yang kau lakukan itu adalah kotor?” Gia sempat melihat Ketua-nya mendengus keras-keras dan terengah-engah saat mengucapkan kata-kata itu, terlihat sekali ia sedang berusaha mati-matian menahan amarahnya.

“Saya sadar akan hal itu, dan saya mohon maaf. Sebagai kompensasinya, saya akan mengundurkan diri dari OSIS. Tapi tolong,” Gia menundukkan kepalanya dalam-dalam, “...jangan berikan hukuman pada Azkar.”

“Dengar, Gia. Kami, OSIS, memang tidak membutuhkan pengecut yang haus akan kekuasaan macam kau. Dan tindakan ini sudah di luar batas kewajaran,” tutur pria bertubuh kecil di sisi Ketua Umum dengan tenang, namun kata-katanya itu sanggup membuat kedua mata Gia memerih bagai ditaburi merica, “Kami sangat kecewa padamu.”

Si gadis malang semakin menundukkan kepalanya, hingga beberapa tetes air di matanya meluruh dan membasahi lantai. Gia menyeka cepat-cepat wajahnya yang basah lalu kembali menegakkan kepalanya. Ditatapnya kedua orang pemimpin di OSIS itu dengan berani. Biarlah. Biarlah ia menumbalkan dirinya sekali lagi. Biarlah ia sendiri yang akan menanggung panasnya bumi ketimbang hanya berdiam diri menyaksikan ‘cahaya matahari’nya padam.

“Karena itulah,” Gia memantapkan suaranya, “...biarkan saya yang menanggung hukumannya.”

xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx

Gadis itu tengah tertawa dengan riangnya. Seolah ia masih memiliki waktu seribu tahun lagi menjejakkan kakinya di bumi. Sedang pemuda di sampingnya berjalan dengan lengan yang tersampir di pundaknya. Es krim Magnum di tangannya dibiarkannya mencair, seperti hatinya yang juga mencair kala pemuda di sampingnya membisikkan sesuatu di telinganya, “Aku mencintaimu, Gee.”

Ah! Andai saja imajinasi itu benar-benar dialaminya saat ini. Yah, andai saja. Kau tahu, bukan, kekuatan dari dua kata ‘andai saja’? Itu berarti kenyataan yang terjadi adalah berbanding 180 derajat dari yang telah diimpikan.

Berdiri mematung di bawah terik bergejolak yang membuat isi tempurung kepala siapapun mendidih, tentu bukan suatu hal yang menyenangkan bagimu. Dan pernyataan itu takkan disangkal oleh Gia, si gadis malang yang tengah mengalami langsung pengalaman mengerikan tersebut.

Sehabis dibentak habis-habisan sehingga membuat Gia nyaris menjadi tunarungu, Gia lalu diperintah untuk berdiri menantang ‘si bola kuning menyala yang tergantung di atas’. Bukannya Gia sok hebat karena bersedia menghadap matahari yang demi apapun di dunia ini, sangat panas teriknya, tetapi juga untuk bertanggung jawab atas pernyataan kesanggupannya dalam menanggung hukuman menggantikan Azkar.

Gia hanya sanggup meringis saat mendapati beberapa orang yang lewat, sejenak mengalihkan perhatian mereka terhadapnya. Dari tiga jam yang lalu semenjak ia berdiri di tengah lapangan upacara ini, sudah banyak Gia menerima tatapan berbeda-beda dari orang-orang di sana. Ada yang menatapnya dengan rasa iba, mengejek, tatapan cuek, ada juga yang langsung berbisik-bisik dengan temannya.

Gia memejamkan matanya sesaat, merasakan pandangannya mulai mengabur dan kepalanya terasa memberat. Gadis itu sedikit tersentak kala sesuatu yang hangat tiba-tiba mengalir dengan bebas dari hidungnya. Kenapa hidungku beringus di saat panas begini? batinnya.

Gia menyeka cairan itu, dan nafasnya tercekat ketika menemukan telapak tangannya berubah warna menjadi merah. Oh, bukan kulitnya yang berubah menjadi merah, tentu saja. Tetapi karena cairan merah mengerikan dan berbau amis yang memenuhinya. Gadis itu mendengus. Huh, sejak kapan aku jadi selemah ini? Gia melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya, lalu mendesah kesal.

“Cih, padahal tinggal dua jam lagi...”

xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx

Gia dengan terpaksa harus menegakkan tubuhnya yang semula berjalan sempoyongan gara-gara lima jam menantang matahari, saat mendapati seorang pemuda yang berdiri di hadapannya dengan tatapan tajam mengarah padanya. Gadis itu hanya tersenyum singkat dan berniat untuk berlalu dari hadapan pemuda itu. Ya, hanya jika tak ada perkataan yang membuat langkahnya terhenti.

“Sudah cukup, Gia. Berhenti melakukan tindakan bodoh.”

Gia memutar matanya dengan dramatis, kemudian berbalik menghadap pemuda itu, “Ah, jika Azkar menanyakanku, tolong katakan aku mengundurkan diri dari OSIS, ya,” katanya mencoba mengalihkan, sambil melontarkan senyum manis.

Pemuda di hadapannya menghela nafas jengkel, “Kau masih tetap memedulikannya? Ini sudah di luar batas, Gia. Kau sudah cukup berkorban banyak untuknya. Ini sudah sangat cukup.”

Gia menarik nafas, berusaha untuk tidak hilang kendali, “Berhenti mengurusi urusan pribadiku, Sammy.”

“Dia bahkan tidak mengindahkanmu.”

“AKU TIDAK PEDULI!” Sammy terlonjak kaget mendengar Gia membentaknya seperti itu. Gadis yang biasanya tenang dan pendiam itu, kini kehilangan kontrolnya. Dan dari bentakan Gia padanya, Sammy tahu bahwa gadis itu terluka, “AKU HANYA MENCINTAINYA DAN AKU BAHAGIA KARENA ITU!” ya, hanya Sammy yang mengetahuinya. Hanya Sammy yang mengetahui bahwa Gia mencintai Azkar. Dari sekian banyak kawan yang dimiliki Gia, hanya Sammy yang menyadari bahwa Gia diam-diam memperhatikan sahabatnya. Memandangnya dari jauh.

Sammy masih bergeming saat Gia berbalik untuk pergi. Namun belum sampai lima langkah, gadis itu kembali membalikkan badannya ke arah Sammy.

“Aku tak pernah memintanya untuk mencintaiku, jadi jangan pernah mengatakan sesuatu yang tidak kau mengerti.”

Dan dengan kata-kata terakhir itu, menjauhlah Gia dari pandangan Sammy. Meninggalkan pemuda itu yang masih mematung dengan sejuta hal yang memenuhi pikirannya.

xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx

“Hey!”

Gia mendongakkan kepalanya, dan menemukan seorang pemuda lagi di hadapannya. Gadis itu diam-diam berdecak kesal. Demi Tuhan, dia sedang tak ingin bertemu dengannya!

“Kau kenapa, Gee? Mukamu pucat begitu.”

“Aku tak apa. Hanya butuh istirahat sebentar.”

Gia dapat menemukan tatapan penuh selidik dari lelaki di depannya, dan demi apapun, itu membuatnya risi.

“Kenapa kau melakukannya?”, tanya pemuda itu.

Gia mengerenyitkan dahinya, “Melakukan apa?”

“Mereka bilang, kau mengundurkan diri. Kenapa kau melakukan itu?” lelaki itu menunjukkan tatapan terluka, dan Gia benci dengan tatapan itu. Tahukah kau, wahai pemuda, bahwa tatapanmu itu hanya akan membuat Gia terjatuh dan seribu kali lebih terluka dibanding dirimu?

“Sudahlah, Azkar,” oh, bahkan Gia menyebut namanya, dan bukan ‘Zee’? Ada apa dengan gadis ini? “Aku hanya merasa lelah dengan semua tanggung jawab OSIS itu, dan aku perlu beristirahat. Seharusnya kau berterima kasih padaku, karena kau sudah terbebas dari saingan terberatmu,” Gia tersenyum, namun demi Tuhan, ini bukan Gia yang dikenalnya!

Gia yang dikenal Azkar adalah seorang gadis yang kuat. Gadis yang akan terus berdiri meski tsunami menerjangnya. Gadis yang akan terus melangkah meski matahari menghantam tubuhnya. Bukan gadis yang mengeluh hanya karena lelah dengan tanggung jawab. Demi es krim Magnum kesukaan Gia! Gia adalah gadis yang hingga mati pun akan memikul tanggung jawabnya. Lalu ke mana perginya Gia yang itu?

“Katakan apa yang kau sembunyikan dariku, Gee!” terdengar nada mengintimidasi dari suara Azkar. Gia hanya tersenyum, namun senyuman yang sarat akan keputusasaan.

“Tidak ada,” ucapnya singkat, “Dan...oh! Karena aku sudah mempermudah jalan untukmu di OSIS, utangmu bertambah, Kawan. Kutunggu lima es krim Magnum darimu. Jangan sampai lupa!” gadis itu terkekeh pelan, “Sudah, ya. Aku pulang.”

Azkar hanya sanggup menatap punggung Gia yang menjauh darinya. Menghela nafas, lelaki itu lalu bergumam, “Kau ini kenapa, Gee? Membuatku khawatir saja.”

Ah! Benarkah itu, Azkar? Jika ya, mengapa bahkan kau tak mampu melihat air mata yang luruh di wajah gadis itu?

xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx

From : Azkar – Cowok – Sok – Keren
Datanglah ke taman. Kutunggu kau di sana sampai kau datang.


Gia menghela nafas sejenak. Sudah saatnya. Ya, sudah saatnya ia mengakhiri permainan kucing-kucingan ini. Gia sudah lelah jika harus terus menerus melarikan diri dari Azkar.

Hari di mana ia mengundurkan diri dari OSIS, juga merupakan hari terakhirnya melihat wajah Azkar. Gia menghilang sejak hari itu. Membuat Azkar tanpa sadar merasakan ada sesuatu yang hilang dari dirinya, sesuatu yang hilang direnggut Gia bersamaan dengan menghilangnya gadis itu dari pandangannya.

Mati-matian Azkar mencarinya. Berharap sahabatnya itu akan kembali bersedia mendampingi dirinya, mendengarkan segala yang ingin diutarakannya, atau bahkan kembali melontarkan ejekan-ejekan pedas yang akan berakhir dengan perang fisik di antara kedua sahabat itu. Tapi tak apa, Azkar sangat merindukan saat-saat itu. Sehingga ia rela repot-repot mencari Gia karena gadis itu tak sekalipun membalas pesan darinya. Azkar mencari di sekolah, di rumah Gia, di taman tempat mereka biasa bermain bersama, bahkan di rumah teman-teman sepermainan Gia. Namun hanya nihil yang ia dapatkan.

Itulah mengapa Azkar menyesal telah menyangsikan kata-kata yang pernah diberikan gurunya: Kau akan merasakan betapa sesuatu yang kau miliki itu berharga manakala kau sudah tidak memilikinya. Dan Azkar akhirnya menemukan jawabannya sendiri, bahwa Gia benar-benar berharga baginya.

Gia melangkahkan kakinya menuju taman. Ada sesuatu yang membuncah di dadanya kala membayangkan ia akan kembali melihat wajah yang selama ini selalu menjadi menu utama dalam proses kerja otaknya. Sesuatu yang ia sendiri tak mengerti.

Keliru besar rasanya jika ia pikir bisa melarikan dirinya begitu saja dari Azkar. Dua hari saja dia menghilang, dua hari itu pula ia bagai bunga yang haus akan air. Karena Gia merasa ada ruang yang kosong dalam dirinya, yang biasanya selalu diisi oleh kehadiran Azkar. Karena baginya, Azkar adalah sebongkah kepingan puzzle di hidupnya. Jika Azkar tak ada, maka hidupnya takkan lengkap. Takkan sempurna.

Kecepatan degup jantungnya berekskalasi puluhan kali lipat manakala dilihatnya seorang pemuda yang duduk di bangku taman yang menghadap danau, membelakangi dirinya. Gia berjalan perlahan menghampiri pemuda itu, lalu duduk di sampingnya dengan hati-hati.

“Hey, Zee. Lama tidak bertemu, ya. Bagaimana dengan Rub...“

“Benci,” satu kata itu membungkam mulut Gia, sekaligus memudarkan senyum yang tersungging di wajahnya.

“Apa? Kau kenapa, Zee?” Gia dapat melihat bahwa tatapan sahabatnya itu penuh dengan rasa sakit dan kecewa, meskipun kedua manik hitam itu tak sedang menatapnya.

“Dia... membenciku.”

Gia menatap sahabatnya yang masih menatap hamparan danau di hadapannya dengan pandangan kosong, “Apa yang terjadi?”

“Dia tidak mencintaiku. Dia hanya menjadikanku pelampiasan dari rasa sakitnya akibat putus dengan kekasihnya.”

Gia tak sadar bahwa tangannya tiba-tiba terkepal. Gia tak menyadari bahwa nafasnya tiba-tiba memburu. Yang ia tahu saat ini hanya satu, bahwa ia ingin sekali menghubungi Afriyani untuk melindas tubuh Ruby dengan truk, atau memanggil Nurdin M. Top untuk memasangkan bom pada tubuh Ruby lalu meledakkannya, dan memberikan mayat gadis itu pada Sumanto untuk dimakannya.

Namun yang paling dirasakannya adalah, bahwa ia merasakan jauh lebih sakit dibanding saat Azkar mengatakan bahwa ia menyukai Ruby. Hatinya jauh lebih perih ketimbang saat Azkar meng-update statusnya waktu itu. Batinnya jauh lebih sesak daripada saat ia harus mundur dari OSIS dan menanggung hukuman demi Azkar beberapa waktu ke belakang.

Beginikah balasan dari seluruh pengorbanannya dahulu? Seperti inikah timbal balik dari semua yang telah diserahkannya untuk menebus kebahagiaan Azkar? Mengapa rasanya sulit sekali untuk membuat sahabat yang dicintainya itu bahagia? Kenapa takdir rasanya enggan membuatnya dapat menghirup aroma kebebasan tanpa harus menanggung rasa sakit itu sekali lagi?

“Zee, aku...”

“Dia membuangku, Gee. Dia membuangku setelah dia kembali pada kekasihnya,” Azkar mengacak rambut hitam kelamnya dengan frustasi.

Gia memandang iba padanya, “Lalu, apa yang membuatnya membencimu?”

“Aku,” Azkar menunduk dalam-dalam, menghela nafas dengan berat, seolah yang akan dikatakannya nanti akan menjemput mautnya, “...memaksa menciumnya.”

Dan Gia bersumpah, seandainya Malaikat Izrail datang dan membawa jiwanya saat itu, ia akan rela. Seandainya kedua telinganya direnggut saat itu, ia takkan keberatan. Karena dengan mendengar penuturan sahabatnya itu, Gia merasa ada silet yang menyayat-nyayat hatinya. Membuatnya mati-matian menahan segala rasa ngilu yang membuncah dalam dadanya, membuat matanya pedih.

“Aku terlalu mencintainya...” Azkar tersenyum perih hingga jika kau melihatnya, kau juga akan melihat hati pemuda itu yang terkoyak.

Gia terdiam. Betapa Gia tak paham akan persoalan yang ia hadapi saat ini. Yang seperti inikah rupa cinta yang sesungguhnya? Salahkah Gia bila ia mengklaim perasaannya sebagai sesuatu yang bernama cinta? Jika cinta yang sebenar-benarnya adalah yang seperti ini, lalu dinamakan apa perasaannya terhadap Azkar?

“Maaf...” Gia menarik kepala Azkar lalu diletakkan di atas bahunya, “Maaf, aku malah pergi di saat kau membutuhkanku,” air mata sudah berkumpul di kelopak mata gadis itu dan siap turun jika sekali saja dia mengerjapkan matanya.

Azkar menikmati sentuhan Gia yang mendamaikan hatinya itu, sentuhan yang amat dirindukannya, “Karena itu... jangan pernah pergi lagi.”

Gia mengangguk perlahan. Gia bersumpah, bahwa kebodohannya meninggalkan Azkar tempo lalu adalah kebodohan terakhirnya. Gia berjanji akan selalu ada saat sahabatnya itu menginginkan dirinya di sisinya. Seperti musim semi yang akan selalu mendampingi musim dingin. Gia berjanji akan selalu menjadi musim semi yang menyejukkan Azkar kala musim dingin membekukannya. Musim semi yang menghangatkannya kala musim dingin memadamkan cahaya mentarinya. Karena musim semi tak akan ada jika musim dingin lenyap. Karena Gia tak akan berarti jika Azkar tak menampak.

Kita seperti dua sisi rel kereta api. Selalu bersebelahan tanpa pernah bersatu.

“Gee... dia terluka karena aku,” Azkar tetap terpaku dalam pelukan Gia, lalu tiba-tiba perkataan itu meluncur dari mulutnya, “Aku... takkan mendekatinya lagi.”

Dan setetes air jatuh dari mata Gia tanpa gadis itu repot-repot untuk mengerjapkan matanya.

“Sudahlah, Zee. Semuanya sudah terjadi,” Gia berusaha menekan suaranya yang bergetar, “See, dia juga berbuat jahat padamu, anggap saja kalian impas,” Gia dapat merasakan Azkar mengangguk kecil di atas bahunya. Gadis itu tersenyum tulus, “Oh, ya. Soal utangmu, kudiskon habis-habisnya menjadi 2 es krim Magnum. Bagaimana?” Gia tertawa kecil saat kepala Azkar di bahunya bergetar, menandakan bahwa pemuda itu juga sedang tertawa.

“Kau merusak suasana, Gadis Barbar!” katanya seraya terkekeh sambil menegakkan kembali kepalanya.

“Tak apa, asalkan sahabatku ini bisa tersenyum kembali,” tutur Gia sembari tersenyum manis. Kedua tangannya lalu menyentuh kedua pipi Azkar, merangkumnya dengan lembut, “Dengar, suatu saat nanti kau akan menemukan kebahagiaanmu. Dan menemukan wanita yang benar-benar mencintaimu.”

Azkar hanya sanggup menyunggingkan senyuman tulusnya mendengar kata-kata itu. Senyuman yang semula hanya diberikannya pada Ruby. Senyuman yang semula hanya akan diberikannya pada orang yang benar-benar berharga baginya. Dan kini ia tahu, bahwa Gia adalah orang yang tepat.

Azkar kembali tersadar dari lamunannya saat Gia menepuk pipinya dengan perlahan, dan ia menemukan senyuman malaikat di wajah gadis itu sekali lagi. Tak ingin lama-lama terjerat oleh senyuman mendamaikan itu, Azkar segera mengalihkan pandangannya ke arah danau. Menatap air bening itu dalam diam, namun tak akan ada yang menyangka bahwa kini otaknya tengah dipenuhi oleh siluet wajah milik sahabatnya.

Gia terkikik geli mengawasi sahabatnya yang tampak salah tingkah, lalu tatapannya melembut di detik kemudian. Tanpa sadar, tangan Gia meraih sehelai daun yang terjatuh di atas bangku yang didudukinya. Diarahkannya tangannya yang memegang daun itu ke kepala Azkar. Kemudian diam-diam diletakkan daun itu di atas rambut pemuda itu.

"Ada daun di kepalamu," ujar Gia sembari menyingkirkan daun itu dengan membelai lembut rambut Azkar.

Dan Gia merasakan ada sesuatu yang berdesir lembut dalam hatinya. Ada sesuatu yang bergetar di dalam sana saat tangannya menyentuh rambut halus dan hitam milik Azkar. Ada perasaan damai yang memonopoli dadanya kala Azkar menoleh padanya akibat sentuhan itu, lalu tersenyum.

“Sampai jumpa, Gee. Terima kasih untuk semuanya. Kau memang sahabatku yang paling baik,” ucap Azkar tulus dengan senyuman yang masih tersungging di bibirnya. Gia harus menahan diri untuk tidak terjatuh pingsan ketika Azkar menaruh telapak tangannya di pipi merah merona milik gadis itu, sembari menatap kedua mata Gia dengan pandangan lembut. Sentuhan yang biasa, namun berlumurkan kasih sayang, seolah mampu mewakili segala perasaan yang tak sanggup dilisankan. Pemuda itu tersenyum untuk yang terakhir kalinya, “Aku menyayangimu.”

Gia hanya sanggup terpaku menatap punggung Azkar yang menjauh darinya. Tersenyum bahagia, gadis itu berucap lirih, hingga Azkar tak dapat mendengar suaranya.

“Begitupun aku.”

Karena meskipun bernafas, diriku mati jika tak menyaksikan senyummu.

Aku tak mampu melihat, meskipun bisa memandang.

Sebab bahagiamu seperti kerangka untukku berdiri,

udara untukku bernafas,

air untukku melepas dahaga.

Dengar, satu fakta tentang kejujuran.

Kata, tak mampu mewakilkan hati.

Hanya hati, yang mampu mewakilkan kata.

Meskipun tak bersama, izinkan 1 hari saja, atau bahkan sepuluh detik saja,

aku ingin menjadi angin yang menghapus air matamu.

Dan juga,

Musim semi yang menghangatkan dinginmu.







by : Della Annissa Permatasari
Cianjur, 13-18 Maret 2012 (saat sedang galau)

Read More...

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Untitled

Dia selalu memintaku untuk berpikir realistis.

Selalu kalimat “biarkan semua mengalir dengan sendirinya,” setiap kuajak dia bermimpi mengarungi bintang-bintang.

Dia bungkam jika kuucapkan kalimat “apa kau masih mencintaiku?”

Gusar wajahnya, seraya berkata “apa tidak ada pertanyaan lain?”

Ya, tak ada yang lain selagi pertanyaan itu belum sanggup kau jawab.

Dan hingga detik ini, bahkan mungkin hingga saat wajahku tak dapat ia sentuh lagi, dia takkan mampu menjawabnya.

Aku tak pernah mengerti apakah lidahnya terlalu kelu untuk mengucapkannya, ataukah…

hatinya yang terlalu kelu untuk mencintaiku.

Ah, aku hampir lupa dengan pernyataan guruku saat itu :

“Unheard melody is sweeter.”

Cinta tak mesti disampaikan lewat lisan atau kata-kata,

tetapi bagaimana membuat orang yang dicintai dapat merasakan cinta kita,

itu jauh lebih indah dibanding menghadiahkan alam semesta sekalipun.

Berkali-kali kupaksa nalarku untuk paham akan hal itu,

berkali-kali pula aku kembali harus berbenturan dengan kenyataan.

Dan tak ada yang pernah bilang kalau benturan itu tidak sakit.

Semakin kuyakinkan diriku, semakin jelas tertampak bahwa ia hampir tak pernah lagi menunjukkan cintanya padaku.

“Dunia kita berbeda,” katanya dengan mantap.

Ya, dunia kita memang berbeda.

Dia hidup di dunia sempurna yang dipenuhi kawan-kawan sempurna yang menyenangkan.

Sementara,

aku hidup di dunia yang dipenuhi bayang-bayangnya.

Tidakkah kau mengerti, Kawan, seberapa tersiksanya aku?

“Kaukah itu yang begitu kejam mendorong diriku ke lautan cinta, lalu setelah aku pandai berenang, kau beranjak dan membiarkan aku karam sendiri?”

Dan tak ada lagi mimpi yang sempat dirajutnya dahulu kala.

Mimpi ketika aku bangun dari lelapku, aku akan menemukan senyum malaikat dan suara indahnya yang mengatakan “selamat pagi” di sampingku.

Atau mimpi saat kami membangunkan dua orang anak kecil yang cantik dan tampan dengan belaian-belaian lembut, ketika tiba masa sekolah.

Aku hanya dapat tersipu waktu itu.

Tak pernah sedikitpun mengira bahwa ia akan dengan semudah ini menguburnya rapat-rapat.

“When we were together, I anoided falling asleep because I knew I would miss you. Now I’m afraid of waking up, because I can only see you in my dream.”

Jadi jangan pernah memintaku untuk berpikir realistis!

Otakku sudah terlalu padat dengan sesuatu yang irrasional tentang dirinya.

Persetan dengan orang-orang yang akan mengataiku bodoh, gila, atau pemimpi!

Ya, aku memang bodoh, gila, dan pemimpi.

Dan salahkan juga laki-laki yang telah memabukkanku dengan mimpi-mimpi kosongnya.

Salahkan dia yang telah mempropaganda seluruh pertahananku,

membuat intuisiku selalu berjalan dengan sendirinya.

Terkutuk dengan mimpi-mimpi indah yang kini tak lebih dari sebatas spektrum ilusi tak berguna itu!

Hancurkan saja mimpi sampah itu dan berpikir realistis!

Bukan begitu, Kawan?

Dan realitanya adalah, dia semakin jauh dari waktu ke waktu.

Masih haruskah aku berpikir realistis?








by : Della Annissa Permatasari
Cianjur, 2 Februari 2012 (saat pelajaran Matematika)

Read More...

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

The Secret of Bird

Apa kau tahu apa rahasia di balik burung?

Setiap kali ia mengepakkan sayap, ia mencoba untuk menemukan sesuatu yang baru

Tapi saat itu semua juga berubah

Ketika ia melewati kota, dan bertemu dengan sang betina yang ditakdirkan untuknya

Menjalin cinta kasat mata, lalu beberapa detik kemudian sang betina pergi tanpa sebab

Lalu burung kembali terbang, melewati sungai-sungai, dan bertemu dengan segerombol burung lain yang sedang singgah untuk melepas dahaga

Tanpa aba-aba, ia ditarik dan sedikit demi sedikit lukanya terobati dan mereka terbang kembali melintasi bumi

Dan ia merasakan kehangatan yang diberikan oleh burung-burung yang berpergian bersamanya

Namun, semua itu juga hanya kasat mata

Ia kembali harus terjatuh, dan terpisah dengan burung-burung yang lain

Bisakah kau mengerti?





from : www.fanfiction.net
Read More...

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Ular - Setan

Di sudut pohon beringin besar itu
Desis-desisnya meracuni tubuhku
Hentikan laju darah di setiap
aorta dalam tubuhku

Jangan kau sebut dia ular!
Lidahnya terlalu panjang untuk kau gunting
Kulitnya terlalu bersisik untuk kau jadikan selimut
Bisanya terlalu beracun untuk kau teguk

Di bawah pohon beringin besar itu
Suara lenguh menguar dan menyesap
ke dalam akar

Merah lipstik wanita itu menjejak di tubuh
pria di atas tubuh setannya
Terkutuk!





by : Della Annissa Permatasari
Cianjur, 3 November 2011

Read More...

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Aku, Kau, dan Boneka

Aku tercipta dari
sebatang kayu yang rapuh
Yang dibuang dalang, diinjak
anak-anak dan dilempari caci

Aku boneka yang tak ber-rupa
yang tangannya telah dilucuti,
berdebu, tak memiliki hati

Malam itu sesosok tangan memungutku,
dari sudut jalan tempat pelacur
melenguh, tempat anak-anak
nakal menulis guratan di tembok
yang teduh

Aku diberi mata, pita
sedemikian rupa

Dihadapkan pada boneka tampan,
yang tercipta dari pohon jati yang wangi,
sewangi melati yang dipetik laki-laki
di tamansari untuk diberikan pada
kekasih hati

Dalang membawa kami menari,
riang, seperti embun yang selalu
mencumbu pagi

Kadangkala membawa kami terbang,
sambil tergelak tanpa bimbang melintasi
padang ilalang yang gersang

Boneka tampan meraih tanganku,
dikecup seraya bertutur :
"aku mencintaimu, seperti angin teduh
yang tak luruh meski datang
waktu Shubuh"





by : Della Annissa Permatasari
Cianjur, 20 Oktober 2011

Read More...

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

The Couple from Heaven

Ini cerpen yang saya buat saat kelas 3 SMP dan dilombakan. Entah karena apa, cerpen ini bisa mendapat juara. Saya juga bingung! Benar-benar bingung! Padahal ini cerpen yang sangat jelek sekali. Karena itu, selamat membaca (bagi yang bersedia membaca)!




Di antara pekat malam, di antara cuaca yang ditelan hembusan angin kencang, siluet seorang wanita melesat menerjang badai yang kian memburu. Tak dihiraukannya kerikil-kerikil tajam yang menembus kulit kaki telanjangnya. Jilbab putih bersih yang dikenakannya kini telah tak tampak lagi kesucian warnanya. Pakaian muslim anggunnya robek dan compang-camping di semua bagian, ternoda darah dari luka di tubuh putih mulusnya. Namun tetap saja semua itu tak is pedulikan sama sekali. Satu hal yang menjadi menu utama proses kerja otaknya, adalah kata¬-kata dari seorang sahabat suaminya yang terus menerus berdengung di sepasang telinga wanita muda itu.

"Malam ini, tepat ketika jarum jam menunjukkan angka 12, bangunan tempat Fahrama disekap akan diledakkan scat mereka mengadakan pesta untuk itu."

Syahrani mempercepat laju kakinya. Malam ini, tanggal 31 Desember pukul 23.30, adalah setengah-jam terakhir sebelum pergantian tahun. Dan setengah jam terakhir, sebelum terjadi ledakan yang akan merenggut nyawa suaminya.

Dan biadab memang, saat pasukan teroris Yahudi itu malah berpesta pora, ketika seorang wanita memperjuangkan hidup suaminya yang telah berada di batas kehidupannya yang terakhir, dengan ditebus setiap tetes demi tetes darah yang mengalir di nadinya. Ketika raungan pedih manusia yang harus diperdengarkan scat mereka menyaksikan orang-orang berharga mati mengenaskan di hadapan mata. Bukan manusia! Gerombolan teroris itu bukan manusia. Julukan 'iblis' bahkan masih terdengar mulia untuk diberikan pada pasukan itu. Mereka tak lebih dari sekedar makhluk yang tak layak hidup di dunia, atau di alam manapun.

Berhari-hari Syahrani menanti di rumah. Menanti suaminya kembali padanya. Namun penantiannya itu tak kunjung terjawab. Beberapa hari yang lalu, suaminya pergi menyerang pertahanan teroris yang telah menghancurkan kehidupan rakyat di daerah mereka. Anak-anak, wanita, manula, puluhan jiwa melayang sia-sia hanya karena ulah para teroris itu. Fahrama akhirnya ikut serta turun tangan menghadapi para Yahudi itu bersama sahabat-sahabat dan penduduk desa yang lain, Namun hingga saat ini, hingga detik ini pun, Syahrani tak pernah menemukan sosok yang dicintainya itu. Sampai suatu ketika, sahabat-sahabat Fahrama yang dibebaskan dari penyekapan memberitahukan kenyataan perih itu pada Syahrani. Syahrani tak pernah merasa heran mengapa hal itu bisa terjadi. Mengingat Fahrama adalah pemimpin pemberontak yang menyerang kawanan teroris tersebut. Dan kenyataan itulah yang kini mengantarkan Syahrani sampai saat ini.Syahrani terjatuh untuk yang kesekian kalinya. Kakinya sudah terlalu letih untuk menopang tubuhnya setelah beberapa jam berlari sejauh dua kilometer tanpa henti. Namun semua itu tak sanggup mengikis tekad yang sepenuh hati dipertahankan oleh Syahrani untuk tetap berdiri menantang apapun yang menghadang di depan.

Setengah mati, Syahrani berusaha untuk bangkit. Tetapi tidak lebih dari dua puluh detik ia berlari, Syahrani kembali terjatuh tak berdaya. Merasa tubuhnya kini tak lagi kokoh untuk terus berlari, ia merangkak melewati ganasnya hutan di sana. Secercah warna hadir di wajah cantiknya yang kini tampak lelah dan lusuh. Saat ditemukannya sebuah bangunan besar dan tua di hadapannya. Semua sesuai dengan petunjuk yang diberikan para sahabat Fahrama yang bebas dari penyergapan. Dan memang, Allah selalu berada di pihaknya. Petunjuk-Nya menuntun Syahrani untuk terus bertahan hingga takdir membawanya ke pangkuan suaminya lagi.

Di tengah tanah berumput di antara hutan itu, berdiri kokoh dua bangunan yang terletak tidak berjauhan satu sama lain. Di satu sisi, bangunan yang ia yakini sebagai tempat Fahrama dikurung saat ini. Sugesti ini muncul begitu saja saat terlihat olehnya, dua orang pria berbadan kekar yang berdiri dengan wajah sangar di depan pintu gudang tua itu. Seolah mampu menghalau siapapun yang memiliki nyali untuk bertingkah di hadapan mereka.
Dan di sisi lainnya, bangunan tua bergaya klasik yang tentu sangat kentara keadaannya dengan bangunan di dekatnya. Dada Syahrani seakan tertohok dengan sesuatu yang menyakitkan, saat ditangkapnya pemandangan yang memedihkan di sana. Di mana kaum-kaum teroris Yahudi itu tengah melarutkan diri mereka dalam pesta hura. Berteriak senang dalam malam yang gulita, dan kesunyian hutan yang mencekam. Di saat hidup suaminya di dalam gudang yang lain bahkan tak tertebak keadaannya. Tak berperasaan memang. Sangat. Bahkan Syahrani menyangsikan kalau mereka hidup dengan dianugerahkan hati dan nurani.

"Setan! Setan! Setan kalian semua!!", desis Syahrani, "Bersenang-senanglah kalian melihat kami menderita di dunia, lalu kami akan bahagia melihat kalian menjerit dan membusuk di neraka!".

Sepasang mata Syahrani mengedar ke segala penjuru. Mencari apapun yang dapat dijadikannya alat untuk bergerak mendekat. Dan gelap yang menerkam rupanya talk berhasil banyak membutakan mata Syahrani yang masih bekerja dengan sangat baik. Mata abu-abu cantiknya menemukan seuntai kawat berduri yang teronggok di dekatnya. Syahrani bergerak dengan cepat namun hati-hati. Tangan putihnya mengambil kawat itu kasar, tak mengindahkan darah segar yang mengalir dari kulitnya yang tertembus duri-duri tajam.

Syahrani terdiam sejenak. Mencari celah untuknya bergerak. Dan sesaat kemudian, Syahrani cepat bangkit, dengan rasa hati-hati yang tak tertinggal. Lalu melangkah mendekati gedung di mana Fahrama disekap. Sama sekali melupakan luka maupun rasa lelah yang entah kenapa hanyut seketika.

Kedua kaki semampainya bergerak hati-hati, terus melangkah mendekati sang bangunan. Kali ini, rupanya Syahrani harus mengucapkan terima kasih berkali¬-kali pada gelapnya malam, yang sementara waktu sanggup membutakan mata para penjaga yang bersiaga tepat di depan pintu gudang.

Syahrani terus bergerilya di sana. Berkali-kali sosoknya nyaris tertangkap karena pendengaran kedua pria sangar itu nampaknya sama sekali tak terusik pekatnya malam. Namun tetap saja tak satu pun dari mereka, menyadari kehadiran bayang-bayang seorang wanita yang diam-diam mendekat.

Kini Syahrani berada tepat di belakang kedua laki-laki kokoh itu. Tangannya yang sejak tadi menggenggam kawat, telah bersiap-siap di belakang leher salah seorang lelaki penjaga. Secepat tangannya beraksi, secepat kawat itu melilit leher si pria. Darah segar muncrat di wajah cantik Syahrani, dan mengalir di leher laki-laki itu, karena duri-duri yang menancap dalam di bagian vital itu. Seketika, tubuh kekarnya roboh ke tanah, yang kini telah mulai basah dibanjiri darah.

Menyadari seseorang tengah menyerang mereka, lelaki yang lainnya segera saja menyerbu Syahrani secara membRama buta. Lengan besarnya mengapit kuat leher Syahrani. Wanita itu tampak meringis menahan sakit. la meronta, berusaha keras meloloskan diri. Namun ternyata tenaganya tak cukup untuk itu.

Di tengah usahanya menghadang maut, Syahrani meraba sebuah benda yang tertancap di celana si pria. Belati. Sekali lagi, Allah telah menjauhkannya dari kematiannya yang sia-sia. Syahrani mencoba sekuat mungkin meraih belati itu. Dan langsung mencabutnya saat tangannya berhasil menggapai benda tersebut. Tanpa menunggu atau berkata-kata lagi, Syahrani melayangkan sang belati cepat, hingga akhirnya mendarat di leher laki-laki kekar. Lagi, tangan putihnya ternoda darah si Yahudi. Seakan dalam gerak lambat, apitan lengan laki-laki itu merenggang, ia terdiam, berhenti bergerak, lalu ambruk ke tanah. Menyusul jiwa temannya yang melayang menuju neraka paling dasar dan kelam.

Seketika, otot-otot dan persendian Syahrani melemas. la jatuh terduduk. Wajahnya tertunduk. Lalu beberapa tetes air mata jatuh dari matanya. Ini adalah pertama kali tangannya terciprat darah manusia. Darah teroris. Darah setan. Syahrani sangat berharap, jiwanya takkan terciprat dengan lumuran dosa yang bersarang di raga manusia yang dibunuhnya. Tidak. Bukan membunuh. Tapi melawan iblis yang mengancam kehidupannya, dan kehidupan seluruh kaumnya.

"Astagfirullahal'adzim..", mulutnya melontarkan istigfar yang menyayat, sedang kedua matanya terus menerus memproduksi air yang bening nan menghangatkan.

Syahrani segera menyeka air mata yang bertengger di wajahnya. Kemudian melirik jam tangan yang melingkar di tangan salah seorang pria yang kini tubuhnya teronggok tak bernyawa di dekatnya. Jam 23.45. Lima belas menit lagi menunggu kehancuran suaminya.

Syahrani baru saja berniat untuk bangkit, saat ditemukannya sebuah kunci yang tergantung di celana seorang pria yang tewas di sana, Tangannya bergerak untuk menggapai kunci itu. Dan satu benda fagi yang seketika membuat pergerakannya seolah terhenti. Sebuah granat. Yang menggantung di dekat kunci, yang diyakininya sebagai kunci pintu gudang. Syahrani meraih kedua benda itu. Dan memasukkan granat ke dalam saku pakaian muslimnya.

Syahrani beranjak. Kemudian menghampiri pintu gudang yang tertutup rapat. Sebuah gembok besi yang terkunci menggantung di sana. Syahrani membuka gembok itu menggunakan kunci yang didapatkannya. Lalu melepaskan rantai besar yang melintang di pintu.

Hati-hati, Syahrani membuka pintu gudang besar itu. Dan kemudian kembali menutupnya perlahan sesaat setelah ia memasuki bangunan tua tersebut. Mata abunya menemukan sosok itu. Sosok yang sangat disayanginya terduduk lemah dengan kondisi yang amat mengenaskan. Ada sesuatu yang menusuk-nusuk bagian belakang mata Syahrani saat melihat keadaan suaminya. Tubuh yang dahulu kokoh itu kini dililit kawat tajam yang berduri. Tak sedikitpun bagian tubuhnya yang tidak ternoda luka dan terciprat darah. Dan satu hal yang paling mengiris hati Syahrani. Adalah saat matanya mendapati kedua kaki Fahrama yang mengalirkan darah segar, dipotong tepat pada bagian pergelangannya.

"RAMA!!", seru Syahrani seraya berlari ke arah Fahrama. Dilihatnya Fahrama yang menunduk , berusaha mendongakkan kepalanya.

"Rani?!", sahut Fahrama lemah, namun ada nada senang dan lega yang berbaur dalam suara seraknya. Saat menemukan sosok bidadarinya yang amat kacau, kini tengah hadir di depan matanya.

"Astagfirullah!! Kenapa Rama sampai seperti ini?!", sahut Syahrani histeris setelah menjatuhkan diri di samping suaminya. Air matanya kini benar-benar telah meleleh.

Fahrama tahu, ia tak harus menjawab pertanyaan yang dilontarkan istrinya. Syahrani pastilah hapal siapa yang meluluhlantahkan pertahanan kuat yang dibangun suaminya selama ini. Fahrama hanya terdiam sejenak. Membiarkan air mata istrinya jatuh tetes demi tetes.

"Teroris-teroris itu…yang membuatku begini.", gumamnya kemudian.

"Biadab!", bisik Syahrani, "Biadab mereka…iblis la'natullah (yang dilaknat Allah)!!!".

"Sudahlah, Rani!", sela Fahrama, "Sesungguhnya Allah akan membalas semuanya di akhirat."

Syahrani mengangguk pedih. Lalu menyentuh lembut wajah tampan Fahrama yang dipenuhi luka dan darah.

Fahrama tampak menikmati sentuhan itu. Sungguh suatu kenikmatan yang telah lama tak ia temukan. Fahrama ingin sekali, menikmati keteduhan itu lebih lama. Sangat ingin.

"Rani...", bisik Fahrama, "Kenapa Rani bisa sampai ke sini? Kenapa Rani tidak menunggu saja di rumah?".

"Tindakan bodoh! Aku sudah lelah menunggu di rumah! Mari kita pulang sekarang, Rama!", ucap Syahrani lirih.

"Tetapi aku sendiri tidak bisa keluar dari sini. Aku tak bisa lagi bersamamu. Mungkin saja....aku akan mati di sini.", nada suara Fahrama terdengar putus asa.

" Kalau Rama benar-benar harus mati, aku akan tetap ikut Rama...", tekad Syahrani.

"Tapi, Rani....", sergah Fahrama.

"Dengar, aku takkan pernah meninggalkan Rama!", Syahrani bersikeras, dikecupnya kening sang suami dengan penuh kelembutan.

Fahrama tertegun mendengar pernyataan itu. la menyandarkan kepalanya pedih di bahu Syahrani. Seakan tak pernah mau dipisahkan oleh takdir dengan istrinya. Namun seketika itu juga, matanya menemukan sesuatu yang tersembunyi di balik kantong pakaian Syahrani.

"Rani...", sahut Fahrama sembari menegakkan kepalanya lagi, "Untuk apa granat itu?".

"Aku bermaksud membom tempat ini bersama seluruh Yahudi itu setelah kita keluar dari sini.", jelas Syahrani.

"Kapan itu akan dilakukan?", tanya Fahrama.

"Entahlah....tetapi setelah kita keluar dari sini.", jawab Syahrani.

"Bagaimana kalau sekarang?"

"A, apa maksudmu?", Syahrani terbelalak begitu mendengar rencana yang meluncur begitu saja dari mulut suaminya.

"Tak ada waktu lagi untuk kita keluar dari sini. Beberapa menit lagi, tempat ini akan diledakkan oleh kawanan Yahudi itu. Dan kita akan mati sia-sia di sini. Daripada hal itu terjadi, lebih baik kita mati bersama para teroris itu. Dengan begitu, para penduduk dan seluruh umat Islam akan terbebas dari ancaman. ", ujar Fahrama.

Syahrani nampak terdiam. Otaknya terlalu sibuk mengakumulasi rentetan kata suaminya.

"Rani....", bisik Fahrama saat menemukan istrinya membungkam, "Bukankah kamu akan berbuat apa saja untuk tetap bersamaku? Walaupun itu adalah kematian? Apa kamu keberatan?"

“Rama, tapi…”

“Apa kamu percaya padaku?”

Segurat senyum tersungging di wajah Syahrani. Fahrama menatapnya sesaat. Memandang keagungan Allah yang terwakilkan dari keindahan ciptaan-Nya. Mengagumi betapa terampil tangan-Nya dalam mencipta lekukan indah yang menjelma menjadi sosok cantik di hadapannya.

"Tentu! Aku akan terus ada bersama kamu. Meski sampai ke akhirat. Meski harus mati!", lirih Syahrani sambil menatap lurus wajah tampan Fahrama. Hingga kejelasannya kabur terhalang air mata. “Insyaallah, Allah akan mempertemukan kita kembali di surga.”, Syahrani kembali tersenyum, Fahrama membalasnya dengan kecupan yang hangat di kening Syahrani. Kecupan terakhir.

Syahrani merogoh kantong pakaian muslimnya. Dan mengeluarkan sebuah granat dari sana. Syahrani menatap suaminya sekilas. Fahrama mengangguk yakin. Lalu Syahrani mencabut kunci yang tertancap di granat yang digenggamnya. Melemparnya ke ratusan dinamit yang tertumpuk di sudut ruangan. Dan kemudian merengkuh Fahrama dalam pelukan yang sangat erat. Seolah tak pernah mau dilepaskan lagi. Fahrama pun tampak pasrah di pelukan Syahrani. Keduanya memejamkan mata.

Detik demi detik berlalu. Kemudian terjadi ledakan yang amat dahsyat, menimbulkan kebisingan dan kehancuran yang luar biasa. Semuanya luluh lantah. Tak ada yang tersisa. Syahrani dan Fahrama telah hancur bersama para teroris Yahudi beserta persenjataannya. Setelah sebelumnya mereka merasakan kegelapan yang pekat, syahdu, dan sunyi.

Inalillahi wa inna illaihi raji'un…

Kau tahu? Pepatah mengatakan “pengorbanan, adalah sesuatu yang paling berharga”. Ketika cinta dua orang insan yang bahkan bumi dan langit pun senantiasa merestuinya mesti dipisahkan di dunia, cinta yang murni dan berlandaskan Tuhan, akan kembali dipertemukan disertai cinta dan kasih-Nya di surga. Dan cinta yang tulus juga disertai pengorbanan, akan selalu abadi di atas semuanya. “Cinta Pasangan Dari Surga”.


“Aku mencintaimu atas nama Tuhanku, maka izinkan aku bersanding denganmu atas nama Tuhanku pula..”




by : Della Annissa Permatasari
2008

Read More...

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Essai "CACAT!"

“Ing ngarso sung tulodo. Ing madya mangun karso. Tut wuri handayani”. Masih ingatkah Anda pada slogan itu? Ah, mungkin sebagian besar sudah lupa, atau bahkan memang tidak tahu sama sekali. Acungkan tangan tinggi-tinggi bagi Anda yang mengetahuinya!

Bingo! Itu adalah slogan pendidikan kita. Disediakan reward bagi yang mengetahui makna slogan tersebut. Oke, hanya bercanda! Saya tidak memiliki cukup biaya untuk menghadiahkan ratusan reward bagi Anda semua, karena saya yakin Anda tahu makna slogan terkenal itu. Benar begitu, bukan?

Baiklah, biar saya perjelas kembali! “Ing ngarso sung tulodo. Ing madya mangun karso. Tut wuri handayani” bermakna “di depan memberi teladan, di tengah ikut serta membangun masyarakat, di belakang memberi dorongan dan dukungan”. Meski sederhana, rangkaian kata-kata itu mampu menerbitkan makna yang luar biasa. Apakah Anda berpikir seperti itu?

Slogan pendidikan kita, seperti kata anak-anak muda zaman sekarang, memang T-O-P banget. Ki Hajar Dewantara beserta gelarnya sebagai “Pahlawan Pendidikan” mampu menggubah suatu bentuk slogan yang hebat. Tetapi, apakah benar kondisi pendidikan di negeri berslogan dahsyat itu sesuai dengan apa yang disebutkan dalam slogannya?

Mungkin sebagian besar orang akan tertawa atau meratap miris mendengar slogan itu sambil membayangkan kenyataan yang memang benar-benar terjadi saat ini. ”Slogan apa itu? Dengar saja tidak pernah!”, “Cih, sama sekali berlawanan!”, “Ooh, itu slogan ya? Aku kira peribahasa!”, dan berbagai komentar lainnya yang sama sekali tidak diharapkan. Bolehkah saya bertanya sesuatu? “Apa Anda termasuk dari orang-orang yang berkomentar seperti itu?”

Inilah saatnya kita melirik diri dan renungi. Apakah slogan itu memang benar adanya, ataukah hanya sebuah bualan yang kita bangga-banggakan pada bangsa lain? Terlalu tebalkah kulit muka kita jika memang benar seperti itu? Mari tengok peristiwa-peristiwa beberapa ratus tahun yang lalu. Pikirkanlah sejenak ketika Raden Ajeng Kartini dengan segenap harga dirinya memperjuangkan keberadaan kaum wanita di dunia pendidikan yang pada saat itu bahkan dianggap racun dan pantang dicicipi oleh para perempuan pribumi. Atau ketika perjuangan pemuda Indonesia dalam mendirikan banyak perkumpulan pendidikan seperti Budi Utomo, Tri Koro Dharmo, Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia, Pemuda Kaum Betawi, Jong Sumatranen Bond, Jong Batak, Jong Minahasa, Jong Islamieten Bond, Gerakan Pemuda Anshor, Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia, Perhimpunan Indonesia, dan banyak lagi yang lainnya. Apakah perjuangan-perjuangan penuh pengorbanan itu hanya termanifestasikan dengan keadaan pendidikan sekarang ini yang…miris?

Pada hakikatnya, pendidikan memiliki dua aspek penting, yaitu kognitif yang berarti berpikir, dan afektif yang berarti merasa. Namun apakah pendidikan di Indonesia ini benar-benar mengandung dua aspek penting itu?

Pendidikan di Indonesia ini, ternyata sangat tidak memperhatikan aspek afektif. Anda tahu kenapa? Karena kita hanya tercetak sebagai generasi-generasi yang pintar namun tidak memiliki karakter-karakter yang dibutuhkan bangsa ini. Jika dahulu para pejuang kita dicap “bodoh” tapi memiliki semangat nasionalisme yang mengalahkan tingginya puncak Himalaya, maka keadaan yang menimpa kita kini adalah sebaliknya. Guru dan bahkan orangtua manapun pasti akan berdecak bangga jika murid dan anak mereka mendapat nilai A dalam Bahasa Inggris, Matematika, atau Kimia. Tapi pernahkah Anda mendapati orangtua yang memarahi anak mereka hingga berjam-jam hanya karena nilai C dalam mata pelajaran PKn? Maka jawabannya adalah jarang.

Ah, berbicara mengenai nasionalisme! 14 Agustus 1961 adalah salah satu peristiwa dari puluhan peristiwa yang amat penting bagi kemajuan dunia pendidikan di Indonesia. Anda tahu itu hari apa? Applause bagi Anda yang mengetahuinya! Itu adalah Hari Pramuka. Lalu tahukah Anda mengenai kewajiban yang seharusnya kita laksanakan pada setiap tanggal 14, khususnya tanggal 14 Agustus? Memakai pakaian pramuka, itulah jawabannya! Bahkan dahulu berlaku sebuah peraturan di mana semua pengajar di nusantara diwajibkan untuk mengenakan pakaian pramuka dengan sanksi yang berat bagi para pelanggarnya. Lalu ke manakah tenggelamnya peraturan itu? Bukan saya bermaksud untuk mempromosikan pramuka dalam kesempatan ini, namun tengoklah barang sebentar saja potret rusaknya nasionalisme bangsa Indonesia kini! Bahkan pernah suatu ketika, saat saya mengenakan pakaian pramuka tanggal 14 lalu, hampir semua siswa di sekolah memandangi saya dengan tatapan heran dan sebagian besar tidak dapat diidentifikasikan, apakah itu tatapan meremehkan, atau menghina. “Kalau harus memakai baju pramuka setiap tanggal 14, suruh anggota Pramuka saja yang memakainya!”, kata seorang siswi sehingga saya harus memelototinya untuk membuat ia bungkam. Bahkan ada seorang pengajar yang menanyakan alasan saya mengenakan pakaian pramuka, entahlah kenapa, tapi saya yakin kalau beliau memiliki kalender!

Betapa merosotnya semangat nasionalisme dan patriotisme dalam diri bangsa kini. Tanamkan nasionalisme pada anak sejak dini, bahkan sejak mereka masih dalam gendongan orangtua. Itulah kunci dari persoalan ini. Angkat tangan kanan Anda dan berjanjilah untuk melakukan itu jika kelak Anda telah menjadi orangtua! Bukankah mereka yang kelak akan menerima warisan negeri ini?

Masalah pendidikan di Indonesia yang selanjutnya yaitu kemiskinan. Kata ini rasanya menjadi kata yang wajib dicantumkan dalam tragedi keterpurukan Indonesia, baik itu dalam urusan ekonomi, terutama pendidikan. “Enak ya rasanya kalau kita pake baju yang samaan dengan teman, pagi-pagi dibangunin sama ibu, dibuatkan sarapan, lalu kita dipakaikan sepatu yang bagus, ingin sekali rasanya menggendong tas di punggung, dan berangkat bareng-bareng teman ke sekolah”. Apa yang Anda rasakan ketika mendengar ucapan itu? Ucapan yang terlontar begitu saja dari mulut anak-anak miskin yang kebetulan dianugerahi nasib yang tak seberuntung yang Anda miliki. Beruntunglah bagi anak-anak yang kehidupannya serba berkecukupan sehingga bisa sedikit saja mencicipi pahit-manisnya menjadi pemain dalam film berjudul “ Kehidupan Sekolah”. Lalu bagaimana dengan nasib anak-anak miskin itu?

Mungkin akan sedikit berbeda alur kondisinya jika para pemerintah bisa lebih tegas membasmi persoalan kemiskinan yang ruwet ini. Diadakannya Bantuan Operasional Sekolah (BOS) memang sedikitnya dapat menjadi jalan pintas. Tapi tak jarang sekali para “tikus” pemerintah memanfaatkan “kesempatan dalam kesempitan” untuk kepentingan mereka sendiri. Yah, orang yang sibuk mengumpulkan keuntungan untuk hidupnya sendiri takkan mampu menangani, bahkan menyentuh masalah orang lain. Tak peduli apapun yang dikatakan orang-orang, apakah itu “Ya terserah anaknya lah, kalau anaknya gak mau sekolah, pemerintah juga gak bisa ngapa-ngapain”, “Pendidikan di Indonesia? Nggak tau ah, no comment!”, atau “Pendidikan di Indonesia, ya? Mm, emang kayak gimana gitu?”, atau berbagai komentar lainnya, bagaimanapun juga pemerintah menggenggam peranan yang amat penting dalam menentukan kecemerlangan dan keterpurukan bangsa. Silahkan acungkan tangan bagi Anda yang setuju dengan pendapat saya! Untuk Anda yang telah mencanangkan diri menjadi bagian dari pemerintahan suatu saat nanti, saya minta jadilah pemerintah yang jujur, kreatif, tegas, dan dapat diandalkan!

Masalah selanjutnya yaitu kemalasan yang kronis. Masalah ini tentu menjadi induk dari semua masalah pendidikan yang ada. Sifat pemalas yang bahkan ada dalam diri saya yang menulis tulisan ini, memang menjadi penyakit dan hama yang mematikan bagi seluruh orang, khususnya generasi muda. Generasi muda sekarang ini sebagian besar lebih mendewa-dewakan kesenangan dunia, meski tak sedikit pula yang mengistimewakan pendidikan. Ajaklah anak-anak muda kini mengikuti les selama satu jam, dan ajak pula mereka pergi ke sebuah mall selama dua jam. Tengok ekspresi mereka! Maka dengan wajah berseri-seri mereka akan mau dengan repotnya berjalan-jalan di mall daripada hanya duduk memperhatikan ucapan-ucapan guru atau rumus-rumus rumit di papan tulis. Bukankah ada pepatah dari Albert Einstein : “Agama tanpa ilmu adalah buta. Ilmu tanpa agama adalah lumpuh”? Agama merupakan bagian dari ilmu, dan ilmu merupakan bagian dari agama, bukan begitu? Anak-anak muda yang hidup tanpa disertai ilmu, akan dengan mudah menjauh dengan sendirinya dari agama. Hal ini jika dibiarkan terus menerus akan menerbitkan sifat hedonis dan bahkan mendekatkan kita sebagai pemuda pemikul beban bangsa pada sekularisme. Bukankah itu akan sangat berbahaya? Oleh karena itu, mari sama-sama (beserta saya pula) menghilangkan sifat malas dan gunakan kesempatan hidup untuk mencangkul tanah ilmu pengetahuan serta ilmu agama.

Bila pendidikan bangsa ini rendah, generasi yang dihasilkan pun tentu akan rendah pula. Bangsa ini membutuhkan generasi yang selain memiliki kecerdasan intelektual, juga memiliki karakter yang dapat membangkitkan kemajuan bangsa. Bangsa ini tidak membutuhkan generasi yang hanya bisa berdiam diri menunggu perubahan dengan mottonya “biarkan waktu yang menjawab semua” tanpa berusaha mewujudkan perubahan itu dengan tangan dan keringatnya. Oleh karena itu, ini adalah tugas kita untuk mengubah nasib bangsa yang sudah terperosok jauh ini. Para pendahulu kita telah mewariskan beban masa depan bangsa ini, maka mau tak mau kita harus melaksanakan tugas tersebut. Bangkitkan pendidikan dengan belajar dan berusaha keras. Agar kelak, kita akan dibutuhkan oleh bangsa ini, bahkan oleh dunia.





by : Della Annissa Permatasari
Cianjur, 17 Oktober 2011

Read More...

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

If I Could

If I could catch a rainbow,
I would do it just for you.
And share with you its beauty.
On the day you're feeling blue.

If I could build a mountain,
you could call your very own.
A place to find serenity,
a place to be alone.

If I could take your troubles,
I would toss them in the sea.

But all these things I'm finding are impossible for me,
I cannot build a mountain,
or catch a rainbow fair..
But let me be... what I know best,
a friend that always there...




from : cover of a Note book
Read More...

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

SNOW WHITE (DEIDARA)

Pada suatu hari ketika musim salju, seorang ratu sedang menjahit dan tanpa sengaja jarinya terkena jarum dan berdarah."Yee, orang aku pakai mesin jahit kok…"

Tiba-tiba mesin jahitnya meledak! Bunyinya BUM! Ruangan sang ratu menjahit hancur berkeping-keping, mesin jahit itu hancur lebur, ruangan-ruangan di sebelahnya rusak parah, saluran listrik, air, gas, telpon, internet, satelit, dan eee… sambungan telpon dengan benang, semuanya nonaktif. Bisa dibayangkan dong gimana keadaan sang ratu… Jari sang ratu terkena jarum dan berdarah.

Sang ratu melihat tetesan darah yang terjatuh di atas salju putih.

"Seandainya saja aku memiliki anak perempuan yang seputih salju, semerah darah, dan sekuning bingkai jendela itu."Kata ratu Kurenai.

Pein : "Disana nggak ada bingkai jendela, sungguh."Kata Pein merasa tak melihat sebuah jendela di atas panggung.

Beberapa tahun kemudian sang ratu melahirkan anak perempuan yang sesuai keinginannya. Kulitnya merah, matanya kuning, dan rambutnya putih.


Sang ratu nggak ingin anak seperti itu, jadi kelahiran anaknya tadi dibatalkan.

Kemudian ia menggambarkan gambar anak yang diinginkannya, berkulit putih kemerahan dan berambut kuning seperti bingkai jendela itu.


Hidan : "Bingkai jendela yang mana sih?" Hidan juga merasakan hal yang sama seperti Pein.

Sang ratu kemudian menyerahkan draft itu ke desainer dan kemudian desainer menyerahkan pada dokter. Sang ratu melahirkan anak sesuai keinginannya, dan anak itu dinamai Deidara. Tidak lama kemudian sang ratu meninggal, kematiannya dimungkinkan karena keracunan, sebab ditemukan zat pewarna putih, kuning, dan merah di rahimnya. Kuningnya seperti bingkai jendela itu.


Konan :"Bingkai yang di dekat vas itu bukan?" Konan menebak-nebak.

Raja Kabuto yang mengetahui kematian istri yang sangat dicintainya sepenuh hati shock berat, karena itulah ia menikah lagi dengan wanita cantik yang ia pilih dari seluruh penjuru dunia, saking shocknya.

Meskipun cantik, wanita itu agak aneh. Ia sering bicara sendiri dengan cermin, padahal di kerajaan nggak ada cermin. Karena itu ia mendatangi toko cermin.

"Mas, ada cermin yang enak diajak omong nggak?"Tanya Ratu Orochimaru kepada si penjual cermin.

Penjual cermin berpikir, dia ini pasti ratu talking-to-mirror-mirror-hanging-on-the-wall-you-do-not-have-to-tell-me-who-is-the-biggest-fool-of-all yang dinikahi raja Kabuto. Tapi bagaimanapun juga ia sangat menghormati raja Kabuto.

"Hei, ratu bodoh! Kalau mau cermin ke belakang sana! Apa? Gitu aja minta diantar? Manja!"

Ratu Orochi sangat terkejut, ia menangis…

"Ternyata ada juga yang tahu kalau aku ini bodoh, aku sangat terharu…"
Ratu Orochi kemudian tiba di ruangan penuh cermin. Ia mengajak salah satu cermin bicara.

"Cermin-cermin di dinding, siapakah gadis yang paling cantik?"
Cermin itu kemudian menjawab.

"Hei, siapa yang kamu maksud? Aku?"

"Yaaa… Iyalaaah…"

"Kalau gitu jangan pakai jamak, dasar ratu bodoh!"

"Wah kamu juga tahu kalau aku bodoh! (senang) Baiklah, cermin di dinding, siapakah wanita yang paling cantik?"

"Tergantung…"

"Tergantung?"

"Kamu sudah melakukan hal itu dengan raja belum?"

"Hal itu? Hal yang… Itu? I… tu… Eh, gimana yaaa… Belum…"

"Heh (menyindir), dasar anak-anak."

"Apa maksudmu?"

"Kamu nggak tahu ya? Aku dengan istriku sudah melakukan itu puluhan kali."

"Puluhan kali? Melakukan apa? Gimana?"

"Sudah ah, aku nggak mau menanggapi anak kecil. Bye."

"…"

Ratu Orochi masih agak bingung. Ia pun memilih cermin lain.

"Cermin, apakah aku paling cantik?"

"Tidak."

"Apa aku cantik?"

"Tidak."

"Apa aku cantik?"

"Tidak."

"Apa kamu bisa berbicara yang lain selain tidak?"

"Coba lagi."

"Apa aku cantik?"

"Tidak."

"…"
Ratu Orochi merasa pernah melihat hal yang sama di acara televisi kerajaan.

Ratu Orochi pun pasrah dan meninggalkan toko. Seketika ia kembali ia dibelikan cermin oleh raja Kabuto. Ia senang dan mulai mengajak cermin itu bicara.

"Oh cermin yang tergantung di dinding, siapakah wanita yang paling cantik?"

"Thou, O Queen, art the fairiest of all!"

Ratu Orochi tidak tahu bahasa asing, tapi ia sangat senang karena ia baru kali ini mendengar cermin berbicara. Raja Kabuto yang mengetahui itupun jadi senang.

"Ternyata ia memang suka dengan cermin talking-only-thou-punctuation-o-queen-punctuation-art-the-fairiest-of-all-exclamation yang kubelikan."Kata raja Kabuto bangga.

Tetapi hal itu tidak lama, tujuh tahun setelah itu (itu lama yo…) Deidara telah menjadi gadis kecil yang cantik. Kulitnya yang putih kemerahan menjadi sangat indah, dan rambutnya yang kuning menjadi sangat menyerupai bingkai jendela itu.


Tobi :"Kalau bukan yang di dekat vas berarti yang mana?" Tobi bertanya dengan wajahnya(?) yang polos .

Ketika ratu baru Orochi (sudah tujuh tahun, sudah lama berarti) itu mencoba berkata pada cermin, ia terkejut.

"Oh cermin yang tergantung di dinding, siapakah wanita yang paling cantik?"

"Thou art fairer than all who are here, Lady Queen. But more beautiful still is Deidara, as I ween."

"Apa? Mengapa bicaramu berganti jadi panjang? Pendek aja aku nggak ngerti!"

Raja Kabuto yang mengetahui hal itu cukup kecewa juga.

"Kenapa ia tidak suka dengan cermin talking-only-thou-art-fairier-than-all-who-are-here-punctuation-lady-queen-full-stop-but-more-beautiful-still-is-deidara-punctuation-as-i-ween-full-stop yang baru? Padahal cermin itu lebih mahal?"Keluh Raja

Ratu Orochi menjadi marah kepada Deidara karena namanya disebut di cermin. Ia pun menyuruh assassin Kisame untuk membunuh Deidara dan membawa hatinya sebagai bukti.

"Hei, ass! bunuh Deidara dan bawa kesini hatinya."Perintah Ratu Orochimaru pada Kisame.

"Kok aku dipanggil ass, sih? Ya udah, nggak papa, nggak ada yang senang kalau aku hidup."Kata Kisame kemudian pundung di puas pundung,ia pun berdiri.

Kisame pergi dengan langkah lemas.

Tidak butuh waktu lama untuk Kisame menemukan Deidara, Deidara berada di depan pintu kamar ratu.

"Hai, asin! Mau nemuin mama ya,un?"Tanya Deidara sambil senyum so cute.

"Mengapa sekarang aku dipanggil asin? Nasibku…"Kata Kisame lemas

"Kenapa, asin?"

"Nggak papa, kalau gitu aku nemuin mamamu dulu ya…"

"Oke deh kalau gitu…"

Kisame kembali ke kamar ratu.

"Ratu mencari saya? Atau saya mencari ratu?"Tanya Kisame sambil garuk-garuk lubang hidungnya(?)

"Lho, udah kembali kamu. Gimana ass? Udah dapet hatinya Deidara?"Kata Ratu Orochimaru antusias

"Eh, hati? Hati… Oh! Err… Anu…"Kisame panic,ia merasa belum mengambil hati milik Deidara.

"Wow! Apakah bola yang kamu pegang itu hatinya Deidara? Bagus sekali kerjamu. Nanti bayarannya kukirim ke rekeningmu."Kata Orochimaru kemudian mengambil bola di tangan Kisame.

Itachi : "Sejak kapan Kisame bawa bola?"

Kisame heran juga, ratu kan tahu kalau ini bola? Tapi nggak papa lah, setidaknya ia nggak jadi membunuh seseorang, ia takut dosa.

Tiba-tiba Deidara masuk kamar ratu.

"Mama, Deidara mau main dulu ya,un…"

"Baiklah, Dei. Hati-hati ya…"

"Dah mama…"

"Dah Dei…"

Kisame yang melihat itu heran, kayaknya ada sesuatu yang… Sudahlah.




Sasori : "Kok habis?Gue kan belum muncul?"

Kushi : "Lho, katanya sudahlah, ya sudah, sudah habis."


Deidara :"Yaaa… Nggak bisa gitu,un ! Dei barusan muncul nih,un !

Kemudian Deidara yang kesepian di hutan kebingungan.

Tobi : "Kok Dei senpai bisa di hutan? Sebelumnya dia kan di istana?


Kemudian Deidara yang kesepian di istana kebingungan.

Pein :"Di istana kok kesepian? Ramai ah…"


Kemudian Deidara yang tidak kesepian di istana kebingungan.

Kakuzu : "Nggak kesepian kok kebingungan?Nggak ada duit itu baru kebingungan.."


Kemudian Deidara yang tidak kesepian di istana tidak kebingungan.

Konan :"Kalau nggak kebingungan ngapain?"

Pein :"Yaa..Konan maunya ngapain.."*kedip ting ting ke Konan*

All : *sweatdropped*


Kemudian Deidara kebingungan bagaimana bisa dia yang sebelumnya berada di istana yang tidak sepi jadi tidak membuatnya kebingungan tiba-tiba berada di hutan yang sepi yang membuatnya lebih bingung lagi.

Akatsuki : *sweatdropped*

Hari sudah semakin sore, Deidara yang tersesat di hutan kebingungan, dia terus berlari.

"Bagaimana ini ,un ? hari semakin sore, garis finisnya masih tidak kelihatan,un…"

Setelah lama dia melihat kotej yang ukurannya kecil, kotej itu sangat kecil sehingga semua perabotannya ditaruh di luar. Disana ada meja yang diatasnya ada 7 piring kecil dengan warna berbeda-beda, ada merah, merah kemerahan, merah kemerah-merahan, merah berbintik merah, merah bergaris merah, putih berlapis merah, dan hitam yang dicat merah. Di atas piring itu hanya ada tepung, tepung, dan tepung.

"Apaan sih ini,un? Semua piring kok isinya tepung,un? Nggak ada sendok lagi, adanya sumpit,un!"Omel Deidara

Bagaimanapun juga, karena ia kelaparan semua tepung itu dimakannya (dengan sumpit).

Kemudian ia tertidur karena makan puding rasa obat tidur.

Tiba-tiba ada 7 kurcaci yang kelihatannya habis pulang bekerja. Mereka kaget ketika membuka pintu kotejnya.

"Siapa yang duduk di kursiku?", Tanya kurcaci yang bermuka bokep itu sambil duduk di kursinya.

"Siapa yang makan di atas piringku?", Tanya satu-satunya kurcaci bergender wanita berambut biru itu sambil kebingungan mencari piringnya.

"Siapa yang memakan rotiku?", Tanya kurcaci berwajah keriput*plaak!* sambil makan roti.

"Siapa yang memakan sayurku?",Tanya Hidan Kurcaci ke empat. ketika ia melihat Itachi makan roti ia meralatnya, "Siapa yang memakan rotiku?"

"Siapa yang menggunakan garpuku?" Tanya Zetsu putih… "Kapan aku punya garpu?" Zetsu hitam bingung.

"Siapa yang memotong dengan pisauku?",Tanya Tobi ia bertanya sambil menggesek-gesekkan pisaunya ke tangannya(?), "Aduh!"

"Siapa yang minum menggunakan mugku?" … "Jangan dijawab! Aku tidak bertanya padamu!"Marah Kakuzu.

Kemudian ketujuh kurcaci itu tersadar, di dalam kotejnya kan nggak ada apa-apa…

Kayaknya mereka kurang tidur, ketika mereka menuju tempat tidur, mereka kaget.

"Siapa yang habis tidur di tempat tidurku?" Konan bertanya.

"Bukan, bukan aku!" Pein menyangkal.

"Siapa yang bertanya padamu?" Hidan bertanya.

"Bagaimana kamu bisa tahu Konan tidak bertanya pada Pein?" Itachi bertanya.

"Kenapa sampai sekarang aku nggak punya tempat tidur?" Zetsu bertanya.

"Tempat tidur? Apa itu tempat tidur?" Kakuzu bertanya.

"Hei, ada yang tidur di tempat tidurku!" Tobi tidak bertanya.

Keenam kurcaci lain melihat tempat tidur Tobi, disana ia melihat ada seorang gadis yang tertidur pulas.

"Lihatlah, cantiknya gadis itu!" Kakuzu berkata.

"Iya, cantik." Zetsu mengiyakan.

"He! Ojok mbebek ae kon! (Hai! Jangan mengangsa saja kau!)" Pein menghardiknas.

"Apa? Aku cantik?" Hidan bertanya , pertanyaan retoris.

"Kamu bukan gadis yoo…" Konan mengklarifikasi.

"Diam, diam, nanti gadis itu bangun, kasihan dia." Itachi menasehati teman-temannya.

"Aku harus ngomong apa ya?" Tobi bingung.

Ketujuh kurcaci tersebut kemudian tertidur pulas di kasur masing-masing.

"Hei, aku harus tidur dimana?" Tobi akhirnya tahu apa yang harus dikatakan.

Esoknya, Deidara terbangun dan kaget melihat kurcaci.

"Hai, aku kaget lho,un…"Kata Deidara lebay.

Ketujuh kurcaci tersebut ikutan terbangun.

Pein :"Ah"

Konan : "rupanya"

Hidan : "kamu"

Kakuzu : "sudah"

Zetsu :"terbangun"

Itachi :"dari"

Tobi :"tidurmu."

(kata-kata tersebut diucapkan secara berurutan oleh kurcaci)

"Kalian pemilik kotej ya,un? Maafkan aku, aku telah memakan semua tepung kalian,un…
Tapi kalian kok makannya tepung,un?"Tanya Deidara bingung.

Pein :"Ah itu… Nggak papa… Nggak tahu juga, setelah kami memberikan makanan ternak, menyiram sayuran, atau mengambil hasil panen, warga memberi kami tepung…"

Kakuzu : "Iya, habis murah kayaknya…"

Konan :"Baca guide dari mana sih?

Zetsu : "Iya, padahal nggak enak…"

Hidan : "Kadang-kadang mereka juga datang siang-siang…"

Itachi : "Minta relaxation tea leaves lagi."

Tobi :"Iya, budum."

All :... Budum?

Tobi : "Ah iya, kok aku bisa ngomong budum ya?"

"Sebenarnya nggak tahu kenapa aku bisa ada di hutan ini, aku nggak tahu jalan pulang,un. Boleh aku tinggal disini,un?"

Pein :"Asalkan kamu bisa mengurus rumah",

Konan :"masak",

Zetsu : "membersihkan tempat tidur",

Kakuzu : "cuci baju",

Hidan :"menjahit",

Itachi "menyulam",

Tobi : "dan membersihkan rumah, kami bisa kami anak baek !"

"Ah, aku bisa, tenang saja,un."Deidara pun mengangguk

"Baiklah kalau begitu." Kurcaci manapun yang ngomong nggak penting.*digeplak Akatsuki*

Esoknya, ketika kurcaci itu pulang dari membantu pertanian warga…

Bukan warga sih, tepatnya seseorang yang memakai topi biru dan tas ransel kuning…
….

Kakuzu :"Hei, pekerjaan kurcaci itu bertambang tahu!"

Sudahlah, ketika mereka pulang mereka melihat rumah mereka (masih) berantakan.

"Deidara! Mengapa semuanya masih berantakan?"Pein marah-marah.

"Hah? Memang dari tadi gitu kok,un…"Kata Deidara sambil asik main PS (?)

"Bukannya kamu harus membereskan rumah?" Tanya Konan kemudian.

"Hah? Kenapa harus aku,un?"

"Kan perjanjiannya gitu, kamu harus bersihin rumah untuk tinggal disini…"Tambah Hidan.

"Hah? Bukannya kalian bilang asalkan aku bisa mengurus rumah dan lain-lain,un? Aku bisa kok, tapi kenapa juga aku harus mengerjakannya untuk kalian,un?"

"Eee… Bila kau bilang seperti itu benar juga…"

Kemudian kurcaci-kurcaci itu menyesal tidak bisa meralat apa yang telah dituliskan pada cerita ini karena mereka nggak memiliki hak akses administrator.

Dari hutan kita beralih ke istana raja Kabuto. Ratu Orochi senang karena kali ini cermin yang dimilikinya berbahasa Indonesia.

"Oh cermin yang tergantung di dinding, siapakah wanita yang paling cantik?"

"Tentu saja anda, wahai ratu."

"Terima kasih cermin, kalau yang paling ganteng?"

"Tentu saja anda, wahai ratu."

"Kok…? Kalau yang paling jelek?"

"Tentu saja anda, wahai ratu."

"… Paling idiot?"

"Tentu saja anda, wahai ratu."

"Apa maksudnya semua ini? Ini semua pasti gara-gara Deidara masih hidup dan bersembunyi di hutan! Aku akan membunuhnya sekarang juga!"

Kemarahan ratu Orochi sangat memuncak, ia pergi ke rumah penyihir dan mencari cara untuk membunuh Deidara.

"Tentu saja anda, wahai ratu."


Ratu Orochi mendapatkan cara untuk membunuh Deidara dari penyihir yang ia temui di perempatan dekat pasar. Ia menyamar sebagai pedagang keliling dan menjual kalung ke Deidara.

"Wahai gadis yang cantik, maukah kau membeli kalung ini?"Tawar ratu Orochi pada Deidara

"Kalung yang cantik sekali ya mama, eh, pedagang keliling. Aku beli deh,un."Kata Deidara tertarik.

"Baiklah, akan kukenakan kalung ini ke lehermu."

Ratu Orochi memakaikan kalung itu ke Deidara. Karena ingin membunuhnya, Ratu mencekik leher Deidara dengan itu. Deidara pingsan dan Ratu kabur kembali ke istana.

Deidara terbangun, "Dasar penjual aneh,un, masa kalung diikatkan ke tangan sih,un? Ngikatnya keras lagi, untung nggak di leher, bisa bahaya tuh,un."

Deidara kemudian kembali ke rumah kurcaci dengan darah mengucur deras dari nadinya.

Ratu kemudian bertanya lagi pada cermin.

"Oh cermin yang tergantung di dinding, siapakah wanita yang paling cantik?"

"Tentu saja anda, wahai ratu."

"Apa? Deidara masih hidup! Kurang ajar! Sekarang pasti akan kubunuh dia!"

"Tentu saja anda, wahai ratu."

Kemudian ratu menyamar menjadi seorang nenek dan menjual sisir beracun ke Deidara.

"Wahai gadis yang berambut bagus, mau sisir?"

"Boleh juga mama, eh, pedagang keliling, eh, nenek penjual sisir."

Ratu kemudian menyisir rambut Deidara dengan sisir itu.

Sesaat kemudian Deidara pingsan. Ratu kembali ke istana dengan perasaan senang.

Deidara terbangun, "Dasar nenek, kok yang disisir rambut yang lain sih,un (yang mana?). Aku sampai pingsan karena geli,un."

Deidara kemudian kembali ke rumah kurcaci.

Pein :"Tunggu, pada adegan tadi rambut bagian mana yang disisir?"

Di istana Ratu bertanya lagi pada cermin, tapi sebelumnya ia haus.

"Pelayan, ambilin minum dong!"

"Tentu saja anda, wahai ratu."

"Apa? Masih belum mati! Argh! Sekarang pasti!"

"Tentu saja anda, wahai ratu."

Pelayan datang tapi ratu keburu pergi.

"Lho, kemana sang ratu?"

"Tentu saja anda, wahai ratu."

Kemudian ratu menyamar menjadi seorang nenek, kali ini jualan apel beracun.

"Mau?"

"SMS sesama operator masih gratis? SMS ke operator lain 100 rupiah,un? Eh, bukan ya,un…"

"Duh, jangan iklan dong. Apel nih, mau nggak?"Kata ratu Orochi kemudian.

"Mau dong mama, eh, pedagang keliling, eh, nenek penjual sisir, eh, nenek penjual apel,un."

Deidara kemudian memakan apel itu. Tidak lama kemudian dia pingsan.

"Hahaha, yang ini pasti mujarab. Kembali dulu ah."

Kali ini berbeda, Deidara tidak bangun-bangun.

Para kurcaci yang baru pulang kaget, mereka kira Deidara mati dan meletakkannya di peti kaca.

Lho, nggak dipastikan dulu? Siapa tahu masih hidup?

Kakuzu :"Nggak mau ah, dia cuma ngerepotin mbak… Kalau masih hidup beneran gimana? Repot kan?Biaya bulanan juga makin besar gara-gara ada dia. Mbak sih enak, cuma jadi narator, ngomong doang."

… Duh, aku sih pinginnya jadi cermin yang cuma bisa ngomong "Tentu saja anda, wahai ratu." itu…

Sudah lama Deidara tersimpan di lemari es… Eh bukan ya? Peti kaca ding.

Dia tidak terlihat seperti seseorang yang telah meninggal. Dia tetap seputih salju, semerah darah, dan rambutnya sekuning bingkai jendela itu.


Zetsu :"Jangan-jangan bingkai di tempat lain…"

Suatu hari pangeran kerajaan tetangga yang bernama Sasori tiba di hutan tempat kurcaci-kurcaci itu, dia kebingungan juga kok bisa tiba-tiba ada disana.

Ia melihat peti kaca Deidara dan tertarik untuk membawanya. Ia membaca tulisan emas di peti itu.

"Dijual cepat, 10 ribu bisa nego." (yang buat Kakuzu)

Pangeran Sasori membeli peti Deidara, dengan nego dulu tentunya. Sebenarnya para kurcaci merasa berat dengan kepergian Deidara itu.

Itachi :"Ya jelas berat, kita disuruh mengangkat peti ini sampai kerajaan. Dasar pangeran pelit."

Tiba-tiba ditengah jalan peti itu terjatuh karena dibuang oleh para kurcaci.

All :"… Itu sih bukan terjatuh namanya….==" "

Kakuzu :"Berat tahu! Kamu kan nggak bayar biaya pengantaran. Udah ah, kami mau pesta teh, musim semi nih!"

Sasori :"Tunggu dulu! Terus bagaimana aku bisa membawanya?"

Peti yang jatuh itu terbuka dan Deidara terjatuh. Dari mulutnya keluar potongan apel beracun itu.

"Aduh sayang nih,un!"

Deidara memakan kembali apel itu. Kali ini baru racunnya bekerja, tadi sih Deidara bukan pingsan, tapi tidur.

"Lho kok pingsan lagi?"

Pangeran Sasori menggendong Deidara sampai ke kerajaannya. Sampai di kerajaan, Deidara terbangun.

"Terima kasih tumpangannya,un."

"Lho? Jadi kamu tadi tidak pingsan ya?"Tanya Sasori kaget.

"Kenapa aku harus pingsan,un? Kamu pingin aku pingsan ya,un?"

Kemudian Deidara pingsan. Ratu kerajaan itu tidak sengaja melihatnya.

"Anakku! Apa yang kau lakukan pada gadis itu? Kamu telah menghamilinya ya?"Seru Kurenai histeris.(Kurenai dapet peran ganda)

"Apa? Kalau begitu maafkan aku ibu! Aku akan bertanggung jawab!"Kata Sasori kemudian berlutut di depan ibundanya.(Deidara dibuang begitu saja ke empang depan istana)

Deidara : "Heeey!"

Kemudian Deidara dan Sasori akan dinikahkan.

Di lain tempat,ratu Orochimaru sedang berbicara pada cermin.

"Oh cermin yang tergantung di dinding, siapakah wanita yang paling cantik?"

"Tentu saja anda, wahai ratu."

"Apa! Deidara menikah dengan pangeran kerajaan lain? Kurang ajar, masih hidup saja dia!"

Ratu pergi ke kerajaan tetangga dengan amarah yang memuncak.

"Tentu saja anda, wahai ratu."


Sesampainya di kerajaan tetangga, ratu (mama Deidara, tapi bukan manajernya kayak yang di suatu acara TV) melihat pernikahan Deidara dengan pangeran kerajaan itu. Ia mendekati Deidara dan akan mengucapkan mantera kutukan.

"Deidara! Ternyata kau ada di sini!"Marah ratu Orochimaru.

"Pedagang keliling, eh, nenek penjual sisir, eh, nenek penjual apel, eh, Mama,un?"Seru Deidara kaget.

"Deidara… Mama selalu mendoakanmu, nak. Semoga kamu berbahagia dengan pangeran ini."Kata Ratu Orochi kemudian,ia berlinangan air mata(?)

"Mama… Terima kasih banyak,un."

"Ratu, maafkan aku yang telah lancang menikahi Deidara. Aku telah menghamilinya(?)…"Jelas Sasori pada ratu Orochimaru.

"Sudahlah, tidak apa-apa. Aku menunggu cucu pertamaku."

"Mama? Jadi mama tidak marah,un? Mama memang mamaku yang paling baik,un!"

"Terima kasih bibi!"

Mereka semua bahagia, termasuk semua warga yang menghadiri pernikahan mereka.

Pein : "Kalau bisa dibuat bahagia, mengapa memilih ending yang harus-ada-yang-mati?"

Kushi : "Emang tadi aku bilang gitu?"

Pein : "Tau ah! Gelap!"

Dan tidak jauh dari tempat pernikahan itu… Akhirnya… para Akatsuki melihat bingkai jendela yang berwarna kuning itu.

====FIN====




from : http://www.fanfiction.net
Read More...

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Angry Birds